Di kalangan Bani Abdi Manaf ada lima orang yang sangat mirip dengan
Rasulullah saw. sehingga seringkali orang salah menerka. Mereka itu
adalah:
- Abu Sufyan bin Harits bin Abdul Muthallib, anak paman Nabi saw. sekaligus sebagai saudara sesusuannya.
- Qutsam Ibnul Abbas bin Abdul Muthallib, anak paman Nabi saw.
- Saib bin Ubaid bin Abdi Yazin bin Hasyim, kakek Syafi'i r.a.
- Ja'far bin Abi Thalib, yaitu saudara Ali bin Abi Thalib.
- Hasan bin Ali Bin Abi Thalib, cucu Rasulullah saw. Beliau ini paling mirip dengan Nabi saw. di antara mereka berlima.
Marilah sekarang kita melihat sisi kehidupan Ja'far bin Abi Thalib. Abi
Thalib termasuk bangsawan Quraisy dan mempunyai kedudukan terpandang
dalam masyarakat. Namun, kehidupannya susah dan tanggungannya banyak. Ia
pernah mengalami keadaan sangat kritis saat kemarau panjang. Tanaman
mati karena kekeringan dan banyak orang terpaksa memakan bangkai. Di
saat paceklik seperti ini, biasanya tidak ada yang menaruh perhatian
untuk meringankan beban Abu Thalib di kalangan Bani Hasyim selain Abbas
dan Muhammad bin Abdullah.
Muhammad berkata kepada Abbas, "Wahai paman, saudara paman (yaitu Abu
Thalib) memiliki tanggungan yang sangat banyak. Sebagaimana yang paman
saksikan, seluruh masyarakat kini sedang ditimpa musibah berupa kemarau
panjang dan paceklik yang mengakibatkan banyak orang kelaparan. Marilah
kita pergi ke rumah Abu Thalib, saudara paman. Kita ambil alih sebagian
tanggungannya untuk meringankan beban keluarganya. Aku mengambil anaknya
seorang, dan paman mengambil pula anaknya yang lain. Agaknya dengan
begitu, cukup besar artinya untuk meringankan bebannya."
Abbas berkata, "Usulmu sangat bagus. Engkau betul-betul membangunkanku untuk kebajikan. Marilah kita pergi."
Mereka pun pergi ke rumah Abu Thalib. Lalu berkata, "Kami datang hendak
meringankan beban Anda yang berat. Izinkanlah kami membawa sebagaian
anak-anakmu tinggal bersama kami sampai masa sulit yang mencekam seluruh
masyarakat ini reda kembali."
Abu Thalib berkata, "Boleh saja, asal kalian tidak membawa Aqil." Aqil adalah anak laki-laki Abu Thalib yang tertua.
Muhammad bin Abdullah mengambil Ali bin Abi Thalib lalu digabungkannya
dalam keluarganya. Sedangkan Abbas membawa Ja'far bin Abi Thalib dan
digabungkannya pula dalam keluarganya. Ali tetap tinggal bersama
Muhammad bin Abdullah sampai Allah mengutusnya menjadi rasul dengan
agama yang hak. Dan, Ali tercatat sebagai pemuda yang pertama-tama masuk
Islam.
Sementara Ja'far tinggal bersama paman Abbas hingga ia dewasa, lalu dia
masuk Islam, dan tidak memerlukan bantuan Abbas lagi. Ja'far dan
istrinya, Asma' bin Umais, menerjunkan dirinya dalam kendaraan Islam
sejak dari awal. Keduanya menyatakan Islam di hadapan Abu Bakar Shiddiq
r.a. sebelum Rasulullah saw. masuk ke rumah Al-Arqam. Pasangan suami
istri Bani Hasyim yang muda belia ini tidak luput pula dari penyiksaan
kaum kafir Quraisy, sebagaimana yang diderita kaum muslimin yang
pertama-tama masuk Islam.
Tetapi, suami istri ini bersabar menerima segala cobaan yang menimpanya,
karena mereka tahu jalan ke surga bertabur duri dengan segala macam
kesulitan dan kepedihan. Tetapi yang merisaukan mereka berdua adalah
kaum Quraisy membatasi geraknya untuk menegakkan syiar Islam dan
melarangnya untuk merasakan kelezatan ibadah. Karena itu, kaum Quraisy
senantiasa mengamati gerak-gerik keduanya. Maka, Ja'far bin Abi Thalib
beserta istrinya memohon izin kepada Rasulullah saw. untuk hijrah ke
Habasyah bersama-sama dengan para sahabat lainnya. Dengan sedih hati
Rasulullah saw. mengizinkannya. Sebaliknya, mereka dengan amat berat
meninggalkan kampung halaman tempat mereka bermain pada waktu kecil dan
waktu muda, tanpa suatu dosa yang mencemarkan, kecuali karena mereka
mengucapkan kata-kata "Rabbunallaah" (Rab kami hanyalah Allah). Namun,
mereka tidak berdaya untuk menangkis siksaan dan tekanan kaum Quraisy.
Kendaraan kaum muhajirin yang pertama-tama berangkat ke Habasyah di
bawah pimpinan Ja'far bin Abi Thalib r.a. Mereka merasa lega di bawah
perlindungan Najasyi, Raja Habasyah yang adil dan saleh. Sejak mereka
masuk Islam itulah, mereka baru merasa aman, dapat menikmati kemanisan
agama yang mereka anut, bebas dari rasa cemas dan ketakutan yang
mengganggu dan yang menyebabkan mereka hijrah.
Namun, tidak berapa lama setelah kaum Quraisy mengetahui rombongan kaum
muslimin yang hijrah ke Habasayah dan mendapat perlindungan raja
Najasyi, dapat melaksanakan dinnya dengan tenang dan aman, kaum Quraisy
pun terkejut dan khawatir. Mereka kemudian berunding untuk membunuh kaum
muhajirin itu atau meminta mereka agar dimasukan penjara. Untuk itu
marilah kita dengarkan Ummu Salamah (salah seorang muhajirat)
menceritakan kisah nyata yang dilihat dan didengarnya sendiri.
Ummu Salamah berkata, "Manakala kami tiba di Habasyah, kami disambut dan
bertemu dengan tetangga yang baik. Kami dapat melaksanakan agama kami
dengan aman, dan beribadah kepada Allah tanpa mendapatkan siksaan atau
gangguan yang tidak diinginkan.
Ketika kaum Quraisy mendengar berita tentang keadaan kami lebih baik,
mereka segera berunding untuk mengacaukan kami. Lalu mereka mengutus dua
orang diplomat ulung kepada Raja Najasyi, yaitu Amr bin Ash dan
Abdullah bin Rabiah dengan membawa persembahan sejumlah hadiah besar
untuk Najasyi pribadi, dan untuk para pemuka agama (pendeta) mereka
berupa barang-barang mewah dan antik dari Hijaz. Namun, mereka
memutuskan untuk tidak memberikan kepada raja terlebih dahulu sebelum
memberikannya kepada para pendeta.
Tatkala kedua utusan itu tiba di Habasyah, mereka terlebih dahulu
menemui pemuka agama yang terdekat dengan Najasyi dan memberikan hadiah
untuk mereka. Kedua utusan itu berkata, "Telah datang ke negeri Anda,
orang-orang bodoh kami. Mereka mengingkari agama nenek moyang dan
memecah belah persatuan bangsa. Bila nanti kami berbicara dengan baginda
raja, kami harap tuan-tuan dapat menolong kami supaya baginda raja sudi
menyerahkan mereka kepada kami, tanpa menanyakan masalah agama, karena
pemimpin rombongan mereka sangat pandai berbiara dan mengerti tentang
agama yang mereka yakini."
"Baiklah," jawab pendeta itu.
Ummu Salamah meneruskan ceritanya, "Namun, apa yang mereka khawatirkan
justru itulah yang terjadi. Raja Najasyi memangil salah seorang kami
untuk didengar keterangannya."
Kedua utusan Quraisy menghadap Raja Najasyi dengan membawa persembahan
bermacam-macam dan hadiah yang tak ternilai harganya. Baginda raja
memuji dan mengagumi persembahan mereka.
Utusan Quraisy berkata, "Wahai paduka raja telah datang ke negara paduka
orang-orang jahat bangsa kami. Mereka datang dengan membawa agama yang
tidak pernah kami kenal dan juga belum pernah paduka kenal. Mereka
keluar dari agama nenek moyang kami, tetapi tidak pula masuk ke dalam
agama paduka. Kami diutus oleh bapak-bapak dan segenap famili untuk
menjemput dan membawa mereka kembali pulang, mereka sangat pandai
mengada-ada dan membuat fitnah.
Najasy melihat kepada para pendeta yang berada di sampingnya. Lalu
mereka berkata, "Apa yang disampaikan kedua utusan itu memang benar,
wahai paduka. Orang yang sebangsa dengan kaum pelarian itu lebih mengeri
dan tahu tentang kejahatan mereka. Karena itu sebaiknyalah kaum
pelarian itu dikembalikan saja kepada mereka. Terserah kepada mereka apa
yang akan diperbuat sesudah itu."
Baginda raja marah mendengar jawaban dari para pendeta. "Tidak...! Demi
Allah...! tidak seorang pun dari mereka akan saya serahkan sebelum saya
memanggil mereka dan meminta keterangannya tentang tuduhan yang
diberikan kepada mereka. Jika benar mereka orang jahat sebagaimana yang
dituduhkan, maka mereka akan saya serahkan. Tetapi, jika tuduhan itu
palsu, mereka akan saya lindungi dan akan saya jadikan tetanggaku yang
baik selama mereka menghendaki," ucap Najasyi.
Selanjutnya, kata Ummu Salamah, "Najasyi memangil kami untuk menghadap
kepadanya. Sebelum menghadap, terlebih dahulu kami bermusyawarah.
Sebagian kami berkata, "Kita dipanggil menghadap baginda raja untuk
diminta keterangannya tentang agama kita. Karena itu, kita tentukan saja
seorang juru bicara untuk menjelaskan kepada beliau. Pilihan mereka
jatuh kepada Ja'far bin Abi Thalib dan yang lainnya tidak diijinkan
untuk berbicara."
Sesudah membuat keputusan, kami pergi menghadap baginda Raja Najasyi. Di
dalam majlis raja telah hadir para pendeta pemuka agama. Mereka duduk
di kanan kiri baginda. Masing-masing memakai pakaian kebesarannya,
lengkap dengan jubah, kopiah dan memegang sebuah kitab di tangan mereka.
Di samping para pendeta, kami melihat pula Amr bin Ash dan Abdullah bin
Rabiah.
Setelah duduk dengan tenang di dalam majlis, baginda raja menoleh kepada
kami dan berkata, "Agama apakah yang tuan-tuan anut, sehingga tuan-tuan
keluar dari agama bangsa tuan-tuan, tetapi tidak pula masuk ke dalam
agama kami atau agama-agama lain yang telah ada?"
Maka tampillah Ja'far bin Abi Thalib menjawab, "Wahai paduka raja,
dahulu kami memang bangsa yang bodoh. Kami menyembah berhala, memakan
bangkai, berzina, mengerjakan segala pekerjaan keji, saling bermusuhan,
tidak mempedulikan tetangga, dan yang kuat selalu memakan yang lemah.
Begitulah keadaan kami dahulu sebelum Allah mengutus Rasul-Nya kepada
kami. Kami mengenal benar kepribadian Rasul Allah itu. Turunnya,
kebenaran setiap kata yang diucapkannya, kejujurannya, kesucian
pribadinya yang tidak sedikit jua pun ternoda, dan seterusnya. Dia
mengajak kami supaya memeluk agama Allah, mengesakan Allah, beribadah
semata-mata kepada-Nya dan supaya meninggalkan agama kami yang lama,
yaitu agama nenek moyang kami yang menyembah batu dan berhala. Bahkan
dia menyuruh kami agar selalu berbicara benar, senantiasa memegang
amanah, menghubungkan sillahturrahmi, bersikap baik kepada tetangga,
menghentikan segala perbuatan terlarang, dan petumpahan darah.
Dia juga melarang kami berzina dan melakukan segala perbutan keji,
mengucapkan kata-kata kotor, memakan harta anak yatim, menuduh wanita
baik-baik berbuat serong. Dia menyuruh kami beribadah kepada Allah saja,
tidak menyekutukan-Nya dengan yang lain-lain. Dia menyuruh kami
menegakkan salat, membayar zakat, dan puasa bulan Ramadahan. Kami
menerima bak segala perintah dan larangannya. Kami percaya sungguh
kepadanya. Dan, kami patuhi segala yang diajarkan Allah kepadanya. Maka
kami halalkan segala yang dikatakannya halal dan kami haramkan segala
yang dikatakannya haram. Tetapi, wahai paduka raja! Sebagian bangsa kami
memusuhi kami karenanya. Mereka menyiksa kami dengan siksaan berat agar
kami keluar dari agama yang kami anut itu dan kembali kepada agama lama
yang menyembah berhala. Maka tatkala penganiayaan dan penyiksaan mereka
terhadap kami sudah demikian memuncak dan kami dihalang-halangi untuk
terus melaksanakan ajaran agama kami, lalu kami keluar dari negeri kami
dan memilih negeri paduka sebagai tempat kami mengungsi. Karena kami
yakin paduka adalah tetangga yang baik dan tidak akan berlaku zalim
kepada kami."
Najasyi berkata kepada Ja'far, "Dapatkah Anda membacakan salah satu ayat yang diajarkan Allah kepada nabi Anda?"
Ja'far menjawab, "Ya, tentu."
Najasyi berkata, "Coba bacakan kepada saya."
Ja'far membaca surat Maryam 1-4, yang artinya, "Kaaf Haa Yaa' 'Ain
Shaad. Mengingat rahmat Rabmu kepada hamba-Nya Zakariya. Ketika ia
berseru kepada Rabnya dengan suara perlahan-lahan. Dia berdo'a, "Wahai
Rabku, sesungguhnya tulangku sudah lemah, dan kepalaku sudah beruban,
dan aku belum pernah beruntung (bila) memohon kepada Engkau, wahai
Rabku."
Baru saja Ja'far selesai membacakan ayat-ayat permulaan surat tesebut,
Najasyi menangis sehingga jenggotnya basah oleh air mata. Begitu pula
para pastor turut menangis sehingga kitab di tangan mereka basah demi
mendengar kalam Allah tersebut.
Najasyi berkata kepada kami, "Sesungguhnya agama yang dibawa nabi
tuan-tuan dan agama yang dibawa Nabi Isa berasal dari satu sumber."
Kemudian dia berpaling kepada Amr bin Ash dan Abdullah bin Rabiah seraya
berkata, "Pergilah kalian, demi Allah, saya tidak akan menyerahkan
mereka kepada kalian selama-lamanya."
Ummu Salamah selanjutnya berkata, "Ketika kami keluar dari majlis
Najasyi, Amr bin Ash mengancam kami. Dia berkata kepada temannya,
Abdullah bin Rabiah, "Demi Allah, besok akan saya datangi baginda raja.
Akan saya katakan kepada baginda ucapan orang-orang ini yang pasti akan
membuat hati baginda raja marah dan benci kepada mereka. Akan saya
sebutkan kepada baginda secara tuntas kebusukan-kebusukan hati
orang-orang ini."
"Ah, jangan! Bukankah mereka ini karib kerabat kita juga, sekalipun
mereka berselisih paham dengan kita," kata Abdullah bin Rabiah.
Amr bin Ash berkata, "Biar saja, demi Allah, akan saya ceritakan kepada
baginda besok. Demi Allah, akan saya ceritakan kepada baginda, bahwa
orang-orang ini mengatakan Isa bin Maryam adalah hamba sahaya."
Keesokan harinya Amr bin Ash menghadap Raja Najasyi dan berkta, "Wahai
paduka raja, orang-orang yang paduka lindungi memandang rendah Isa bin
Maryam. Cobalah paduka panggil lagi dan bertanya kepada mereka."
Ummu Salamah melanjutkan ceritanya, "Setelah mengetahui tindakan Amr itu
kami sungguh terpana. Kami tidak berpendirian begitu, jangankan pula
untuk mengucapkan kata-kata yang menghina Nabi Isa bin Maryam. Lalu kami
bermusyawarah tentang jawaban apa yang paling tepat mengenai persoalan
itu, jika nanti baginda raja menanyakannya. Kami sepakat, "Demi Allah,
kita tidak akan memberi jawaban melainkan dengan firman Allah. Kita
tidak boleh keluar seujung kuku pun dari ajaran Nabi kita, dan harus
senantiasa begitu."
Kemudian menunjuk kembali Ja'far bin Abi Thalib menjadi juru bicara.
Ketika dipanggil baginda raja, kami pun datang menghadap. Kami dapati
para pastor telah hadir seperti kemarin. Di samping mereka terlihat pula
Amr bin Ash dan kawannya. Segera kami duduk di hadapan baginda, lalu ia
bertanya kepada kami, "Bagaimana pendapat tuan-tuan tentang Isa bin
Maryam?"
Ja'far berkata, "Kami mempercayainya sebagaimana diajarkan nabi kami."
Najasyi berkata, "Bagaimana ajaran nabi tuan-tuan mengenai beliau."
Ja'far menjawab, "Beliau bersabda, "Sesungguhnya Isa adalah hamba Allah
dan Rasul-Nya, ruh-Nya, dan firman-Nya yang ditujukan kepada Maryam yang
senantiasa perawan suci."
Mendengar jawaban Ja'far itu, Najasyi menepukkan tangannya ke lantai
seraya berkata, "Demi Allah tidak berbeda seujung rambut pun ajaran Isa
bin Maryam dengan ajaran nabi tuan-tuan."
Para pastor bernafas panjang, sebagai protes terhadap ucapan Najasyi.
Lalu Najasyi berkata kepada para pendeta, "Sekalipun kalian mencemooh,
pergilah kalian! Kalian percaya terhadap orang-orang yang telah menyogok
dan mendatangkan malapetaka pada kalian. Demi Allah, saya tidak suka
menerima emas walaupun sebesar gunung, tetapi mencelakai salah seorang
kamu dengan suatu kejahatan. Kemudian Najasyi menengok kepada Amr bin
Ash dan kawannya seraya berkata, "Kembalikan semua hadiah-hadiah yang
dipersembahkan kedua orang ini, saya tidak butuh persembahan mereka."
Ummu Salamah melanjutkan ceritanya, "Amr bin Ash dan kawannya keluar
dengan hati berkeping-keping dan sangat kecewa. Dia kalah total,
mendapat kegagalan dan kekecewaan yang memalukan. Dan kami dibolehkan
tetap tinggal di sisi Najasyi, di negeri yang baik dan penduduk yang
berhati mulia pula."
Ja'far bin Abi Thalib beserta istri tinggal dengan aman dan tenang dalam
perlindungan Najasyi yang ramah tamah itu selama sepuluh tahun.
Pada tahun ke tujuh hijrah, kedua suami isteri itu meninggalkan Habasyah
dan hijrah ke Yatsrib. Kebetulan Rasulullah saw. baru saja pulang dari
Khaibar. Beliau sangat gembira bertemu dengan Ja'far sehingga karena
kegembiraannya beliau berkata, "Aku tidak tahu mana yang menyebabkan aku
gembira, apakah karena kemenangan di Khaibar atau karena kedatangan
Ja'far?"
Begitu pula kaum muslimin umumnya, terlebih fakir miskin, mereka juga
bergembira dengan kedatangan Ja'far. Ja'far sangat penyantun dan banyak
membela golongan duafa, sehinga dia digelari Abil Masakin (bapak
orang-orang miskin).
Abu Hurairah bercerita tentang Ja'far. Ia berkata, "Orang yang paling
baik kepada kami (golongan orang-orang miskin) ialah Ja'far bin Abi
Thalib. Dia sering mengajak kami makan di rumahnya, lalu kami makan apa
yang ada. Bila makanannya sudah habis, diberikannya kepada kami
pancinya, lalu kami habiskan sampai dengan kerak-keraknya."
Belum begitu lama Ja'far tinggal di Madinah, pada awal tahun kedelapan
hijriah Rasululalh saw. menyiapkan pasukan tentara untuk memerangi
tentara Rum di Muktah. Beliau mengangkat Zaid bin Haritsah menjadi
komandan pasukan.
Rasululalh saw. bersabda, "Jika Zaid tewas atau cidera, komandan
digantikan Ja'far bin Abi Thalib. Seandainya Ja'far tewas atau cidera
pula, dia digantikan Abdullah bin Rawahah. Dan, apabila Abdullah bin
Rawahah cidera atau gugur pula, hendaklah kaum muslmin memilih
pemimpin/komandan di antara mereka. "
Setelah pasukan sampai di Muktah, yaitu sebuah kota dekat Syam dalam
wilayah Yordan, mereka mendapati tentara Rum telah siap menyambut
kedatangan mereka dengan kekuatan 100.000 pasukan inti yang terlatih,
berpengalaman, dan membawa persenjataan lengkap. Pasukan mereka juga
terdiri dari 100 ribu milisi Nasrani Arab dari kabilah-kabilah Lakham,
Judzam, Qudha'ah, dan lain-lain. Sementara, tentara kaum muslimin yang
dipimpin Zaid bin Haritsah hanya berkekuatan 3000 tentara.
Begitu kedua pasukan yang tidak seimbang itu berhadap-hadapanan,
pertempuran segera berkobar dengan hebatnya. Zaid bin Haritsah gugur
sebagai syuhada ketika dia dan tentaranya sedang maju menyerbu ke
tengah-tengah musuh.
Melihat Zaid jatuh, Ja'far segera melompat dari punggung kudanya yang
kemerah-merahan, lalu dipukulnya kaki kuda itu dengan pedang, agar tidak
dapat dimanfaatkan musuh selama-lamanya. Kemudian secepat kilat
disambarnya bendera komando Rasulullah dari tangan Zaid, lalu diacungkan
tinggi-tinggi sebagai tanda pimpinan kini beralih kepadanya. Dia maju
ke tengah-tengah barisan musuh sambil mengibaskan pedang kiri dan kanan
memukul rubuh setiap musuh yang mendekat kepadanya. Akhirnya musuh dapat
mengepung dan mengeroyoknya. Sementara dia bersenandung menyanyikan
sajak nan indah
Wahai ... surga nan nikmat sudah mendekat
Minuman segar, tercium harum
Tetapi engkau Rum ... Rum....
Menghampiri siksa
Di malam gelap gulita, jauh dari keluarga
Tugasku ... menggempurmu ..
Ja'far berputar-putar mengayunkan pedang di tengah-tengah musuh yang
mengepungnya. Dia mengamuk menyerang musuh ke kanan dan kiri dengan
hebat. Suatu ketika tangan kanannya terkena sabetan musuh sehingga
buntung. Maka dipegannya bendera komando dengan tangan kirinya. Tangan
kirinya putus pula terkena sabetan pedang musuh. Dia tidak gentar dan
putus asa. Dipeluknya bendera komando ke dadanya dengan kedua lengan
yang masih utuh. Tetapi, tidak berapa lama kemudian, kedua lengannya
tinggal sepertiga saja dibuntung musuh. Secepat kilat Abdullah bin
Rawahah merebut bendera komando dari komando Ja'far bin Abi Thalib.
Pimpinan kini berada di tangan Abdullah bin Rawahah, sehingga akhirnya
dia gugur pula sebagai syuhada', menyusul kedua sahabatnya yang telah
syahid lebih dahulu.
Rasulullah saw. sangat sedih mendapat berita ketiga panglimanya gugur di
medan tempur. Beliau pergi ke rumah Ja'far bin Abi Thalib anak
pamannya. Didapatinya Asma', isteri Ja'far, sedang bersiap-siap menunggu
kedatangan suaminya. Dia mengaduk adonan roti, merawat anak-anak,
memandikan dan memakaikan baju mereka yang bersih.
Asma' bercerita, "Ketika Rasulullah mengunjungi kami, terlihat wajah
beliau diselubungi kabut sedih. Hatiku cemas, tetapi aku tidak berani
menanyakan apa yang terjadi, karena aku takut mendengar berita buruk.
Beliau memberi salam dan menanyakan anak-anak kami.
Beliau berkata, "Mana anak-anak Ja'far, suruh mereka ke sini."
Maka kupanggil mereka semua dan kusuruh menemui Rasulullah saw.
Anak-anak berlompatan kegirangan mengetahui kedatangan beliau. Mereka
berebutan untuk bersalaman kepada beliau. Beliau menengkurapkan mukanya
kepada anak-anak sambil menciumi mereka penuh haru. Air mata beliau
mengalir membasahi pipi mereka. Saya bertanya, "Ya Rasulullah, demi
Allah, mengapa anda menangis? Apa yang terjadi dengan Ja'far dan kedua
sahabatnya?"
Beliau menjawab, "Ya ..., mereka telah syahid hari ini." Mendengar
jawaban beliau, maka reduplah senyum kegirangan di wajah anak-anak,
apalagi setelah mendengar ibu mereka menangis tersedu-sedu. Mereka diam
terpaku di tempat masing-masing, seolah-olah seekor burung sedang
bertengger di kepala mereka. Rasulullah berucap sambil menyeka air
matanya,
"Wahai Allah, gantilah Ja'far bagi anak-anaknya ... wahai Allah,
gantilah Ja'far bagi isterinya." Kemudian kata beliau selanjutnya, "Aku
melihat sungguh Ja'far berada di surga. Dia mempunyai dua sayap
berlumuran darah dan bertanda di kakinya." Wallahua'lam.( suaramedia )