" IKATAN SILATURAHMI BAHAGIA DUA, KREO SELATAN "

Rabu, 13 Desember 2017

Memerdekakan Al-Quds dengan Kemerdekan Sejati

 https://www.islampos.com/wp-content/uploads/2017/07/Dome-of-the-Rock-Masjid-Al-Aqsa-600-x-400.png

KEPUTUSAN Presiden Amerika Serikat Donal Trump mengumumkan pengakuan Yerusalem sebagai ibukota Israel menimbulkan berbagai reaksi. Sejumlah kepala negara bereaksi atas sikap Presiden Amerika Serikat itu, tak ketinggalan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan sejumlah orgasiasi kemasyarakatan (ormas) Islam turut menolak pernyataan Presiden Amerika Serikat itu.


Melihat ini, maka yang perlu kita pahami adalah bahwa Tanah Palestina yang dirampas dan diduduki Israel sejak tahun 1948, adalah bukan tanah milik bangsa Arab, bukan pula milik bangsa Palestina, tetapi mutlak tanah milik kaum Muslim.

Seluruh kaum Muslim, bukan hanya bangsa Arab, bangsa Palestina, berkewajiban mengembalikan tanah tersebut kepada Umat Islam. Jika dihitung sejak pendudukan Israel sekaligus pendirian Negara Yahudi itu di Palestina pada tahun 1948 hingga hari ini, maka tragedi Palestina sudah berumur lebih dari 60 tahun. Selama itu pula sudah tak terhitung korban di pihak rakyat Palestina oleh kebiadaban Yahudi tersebut. Kekejaman demi kekejaman yang dilakukan oleh Yahudi terhadap rakyat Palestina seolah tak pernah akan berhenti, terus berulang dari waktu ke waktu.

Anehnya, setiap kali muncul kasus kebiadaban Yahudi-Israel terhadap rakyat Palestina, hal itu sekadar dianggap sebagai masalah kemanusian. Padahal tragedi Palestina tentu bukan semata-mata masalah kemanusiaan. Namun akar masalah Palestina sesungguhnya bersinggungan paling tidak dengan tiga aspek.

Jumat, 08 Desember 2017

Kehancuran Bangsa Yahudi Menurut Al-Qur’an dan Sunnah

 Oleh: Syaikh Abu Usamah Salim bin Ied al-Hilali

Nubuwat al-Qur’an Tentang Kebinasaan Bangsa Yahudi
Wahai saudara-saudaraku kaum muslimin yang dimuliakan Allah… Berbesar hatilah, karena Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَقَضَيْنَا إِلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ فِي الْكِتَابِ لَتُفْسِدُنَّ فِي الأَرْضِ مَرَّتَيْنِ وَلَتَعْلُنَّ عُلُوًّا كَبِيرًا  فَإِذَا جَاء وَعْدُ أُولاهُمَا بَعَثْنَا عَلَيْكُمْ عِبَادًا لَّنَا أُوْلِي بَأْسٍ شَدِيدٍ فَجَاسُواْ خِلاَلَ الدِّيَارِ وَكَانَ وَعْدًا مَّفْعُولاً  ثُمَّ رَدَدْنَا لَكُمُ الْكَرَّةَ عَلَيْهِمْ وَأَمْدَدْنَاكُم بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَجَعَلْنَاكُمْ أَكْثَرَ نَفِيرًا  إِنْ أَحْسَنتُمْ أَحْسَنتُمْ لِأَنفُسِكُمْ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا فَإِذَا جَاء وَعْدُ الآخِرَةِ لِيَسُوؤُواْ وُجُوهَكُمْ وَلِيَدْخُلُواْ الْمَسْجِدَ كَمَا دَخَلُوهُ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَلِيُتَبِّرُواْ مَا عَلَوْاْ تَتْبِيرًا  عَسَى رَبُّكُمْ أَن يَرْحَمَكُمْ وَإِنْ عُدتُّمْ عُدْنَا وَجَعَلْنَا جَهَنَّمَ لِلْكَافِرِينَ حَصِيرًا
“Dan Telah kami tetapkan terhadap Bani Israil dalam Kitab itu: “Sesungguhnya kamu akan membuat kerusakan di muka bumi Ini dua kali dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar”. Maka apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) pertama dari kedua (kejahatan) itu, kami datangkan kepadamu hamba-hamba kami yang mempunyai kekuatan yang besar, lalu mereka merajalela di kampung-kampung, dan Itulah ketetapan yang pasti terlaksana. Kemudian kami berikan kepadamu giliran untuk mengalahkan mereka kembali dan kami membantumu dengan harta kekayaan dan anak-anak dan kami jadikan kamu kelompok yang lebih besar. Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri, dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk ke dalam masjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai. Mudah-mudahan Tuhanmu akan melimpahkan rahmat(Nya) kepadamu; dan sekiranya kamu kembali kepada (kedurhakaan) niscaya kami kembali (mengazabmu) dan kami jadikan Neraka Jahannam penjara bagi orang-orang yang tidak beriman.” ( QS al-Israa’ 17:4-8)
Pertama : Ayat ini menegaskan terjadinya dua kerusakan yang dilakukan oleh Bani Israil. Sekiranya dua kerusakan yang dimaksud sudah terjadi pada masa lampau, maka sejarah telah mencatat bahwa Bani Israil telah berbuat kerusakan berkali-kali, bukan hanya dua kali saja. Akan tetapi yang dimaksudkan di dalam Al-Qur’an ini merupakan puncak kerusakan yang mereka lakukan. Oleh karena itulah Allah mengirim kepada mereka hamba-hamba-Nya yang akan menimpakan azab yang sangat pedih kepada mereka.

Kedua : Dalam sejarah tidak disebutkan kemenangan kembali Bani Israil atas orang-orang yang menguasai mereka terdahulu. Sedangkan ayat di atas menjelaskan bahwa Bani Israil akan mendapatkan giliran mengalahkan musuh-musuh yang telah menimpakan azab saat mereka berbuat kerusakan yang pertama. Allah mengatakan : “Kemudian kami berikan kepadamu giliran untuk mengalahkan mereka kembali.”

Rabu, 22 November 2017

Ya Ali, Kembalikan Barang-Barang Ini…

 

Hari itu genap sudah 70 orang pengikut Rasulullah yang berada di kota Mekkah. Rasulullah merasa senang. Ini berarti Allah telah membuatkan baginya “benteng pertahanan” dari suatu kaum yang memiliki keahlian dalam peperangan, persenjataan, dan pembelaan. Sesungguhnya Mekkah adalah medan dakwah yang berat.

Tetapi penyiksaan dan permusuhan terhadap kaum muslimin pun makin gencar dan berat. Mereka menerima cacian dan penyiksaan yang sebelumnya tidak pernah mereka alami. Para sahabat mengadukannya kepada Rasulullah. Rasulullah diam sejenak.

“Sesungguhnya,” Rasulullah berkata, “aku pun telah diberitahu bahwa tempat kalian adalah Yastrib. Barang siapa yang ingin keluar, hendaklah menuju Yastrib.”

Para sahabat pun bersiap-siap. Mereka segera mengemas semua keperluan perjalanan, kemudian secara sembunyi-sembunyi berangkat ke Yastrib. Tidak seorang pun dari sahabat Rasulullah yang berani berhijrah secara terang-terangan kecuali Umar bin Khattab.
Umar membawa pedang, busur, panah dan tongkat di tangannya menuju Ka`bah. Kemudian sambil disaksikan oleh tokoh-tokoh Quraisy, Umar melakukan thawaf tujuh kali dengan tenang. Setelah itu Umar datang ke Maqom mengerjakan shalat. Usai shalat, Umar bersuara lantang, “Barang siapa ibunya ingin kehilangan anaknya, atau istrinya ingin menjadi janda, atau anaknya menjadi yatim piatu, aku tunggu di balik lembah ini…”

Perkataan Umar ini disambut dengan sedikit keheranan oleh para kafir Quraisy. Mereka saling berpandangan. Kini jelaslah sudah berita itu. Selama ini para kafir Quraisy hanya menduga-duga saja bahwa sebagian pengikut Muhammad telah meninggalkan Mekkah. Umar sendiri kemudian melenggang meninggalkan Mekkah dengan diikuti oleh beberapa orang yang lemah.

Setelah keberangkatan Umar, berangsur-angsur kaum Muslimin melakukan hijrah ke Yatsrib sehingga tidak ada yang tertinggal di Mekkah kecuali Rasulullah saw, Ali bin Abi Thalib dan Abu Bakar. Juga orang-orang yang ditahan, sakit atau tidak mampu keluar.

Awal Mula Peringatan Maulid Nabi

Hasil gambar untuk nabi mUHAMMAD


Memperingati hari lahir Nabi Muhammad SAW atau biasa disebut sebagai Maulid Nabi telah menjadi semacam tradisi bagi umat Islam di berbagai belahan dunia, tak terkecuali Indonesia. Peringatan Maulid Nabi pada 12 Rabiul Awal menjadi momen untuk membangkitkan dan menjaga semangat Nabi dalam diri umat.
Kendati telah menjadi semacam tradisi, memang masih terjadi silang pendapat tentang kapan sebenarnya Maulid Nabi mulai diperingati umat Islam. Jika ditelusuri dalam kitab tarikh (sejarah), perayaan Maulid Nabi tidak ditemukan pada masa sahabat, tabiin, hingga tabiit tabiin, dan empat imam mazhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam Ahmad).

Mereka adalah orang-orang yang sangat mencintai dan mengagungkan Nabi Muhammad SAW. Mereka pula kalangan yang paling bersemangat dan menghayati setiap ajaran-ajaran yang diwariskan olehnya.

Beberapa kalangan berpendapat bahwa Maulid Nabi pertama kali muncul pada zaman Shalahuddin al-Ayyubi (1193 M). Shalahuddin disebut menganjurkan umatnya untuk melaksanaan perayaan Maulid Nabi guna membangkitkan semangat jihad kaum Muslim. Kala itu, Shalahuddin dan umat Islam memang berada dalam fase berperang melawan pasukan atau tentara Salib.

Kendati demikian, pendapat tersebut juga masih diperdebatkan. Mereka yang menolak bahwa Shalahuddin sebagai pelopor maulid beralasan, tidak ditemukan catatan sejarah yang menerangkan perihal Shalahuddin menjadikan Maulid Nabi sebagai bagian dari perjuangannya dalam Perang Salib.
Menurut beberapa pakar sejarah Islam, peringatan dan perayaan Maulid Nabi dipelopori oleh Dinasti Ubadiyyun atau disebut juga Fatimiyah (silsilah keturunannya disandarkan pada Fatimah). Al Maqrizi, salah satu tokoh sejarah Islam mengatakan, para khilafah Fatimiyah memang memiliki banyak perayaan sepanjang tahun.

Antara lain perayaan tahun baru, hari Asyura, Maulid (hari kelahiran) Nabi, maulid Ali bin Ali Thalib, maulid Hasan dan Husain, maulid Fatimah al Zahra, perayaan malam pertama bulan Rajab, perayaan malam pertama bulan Syaban, perayaan malam pertama Ramadan, perayaan Idul Fitri dan Idul Adha, perayaan malam Al Kholij, perayaan hari Nauruz (tahun baru Persia), dan lainnya. (Al Mawa'izh wal I'tibar bi Dzikril Khutoti wal Atsar, 1/490. Dinukil dari Al Maulid, hal. 20 dan Al Bida' Al Hawliyah, hal. 145-146).

Sabtu, 17 Juni 2017

Beginilah Kami Memperlakukan Ulama

Gurun Pasir
Selepas menshalati jenazah sang ibunda, Zaid bin Tsabit pulang dengan menaiki bighãl (bagal). Saat akan menunggangi hewan peranakan kuda dan keledai itu, sepupu Rasulullah, Ibnu ‘Abbas, tiba-tiba menghampiri lalu memegang tali kendali tunggangan tersebut. Ibnu ‘Abbas hendak menuntunnya sebagai bentuk penghormatan.

Keduanya adalah sahabat Rasulullah yang istimewa. Zaid merupakan sahabat cerdas yang pada zaman Rasulullah dipercaya sebagai penulis wahyu. Ia adalah sekretaris pribadi Nabi yang keulamaannya diakui di Madinah. Ibnu ‘Abbas pun tak kalah hebat. Putra ‘Abbas bin Abdul Muthallib ini memiliki wawasan luas. Banyak hadits yang keluar melalui jalur riwayatnya.
Namun demikian, kali ini atas sikap rendah hatinya, Ibnu ‘Abbas rela melayani Zaid. Zaid bin Tsabit yang merasa sungkan diperlakukan demikian oleh Ibnu ‘Abbas pun bertutur sopan, “Lepaskanlah, wahai anak paman Rasulullah!”

“Beginilah kami memperlakukan ulama,” jawab Ibnu ‘Abbas memuji keutamaan Zaid bin Tsabit. Bagi Ibnu ‘Abbas, orang biasa seperti dirinya sudah sepantasnya menghormati sahabat selevel Zaid.

Sontak, Zaid mencium tangan Ibnu ‘Abbas. “Beginilah kami diperintah dalam memperlakukan keluarga Nabi,” katanya. Ini adalah sikap balasan atas ketawadukan Ibnu ‘Abbas. Kerendahan hati dibalas kerendahan hati.

Sirah Allah Perintahkan Rasulullah untuk Menikahkan Fatimah dengan Ali

Pada tahun 2 hijriyah, Ali menikahi Fatimah. Ini terjadi selepas perang Badar Al-Kubra. Rasulullah SAW bersabda,”Sungguh, Allah memerintahkankku untuk menikahkan Fatimah dengan Ali.”

Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib RA, ia menuturkan,”Aku menyampaikan pinangan kepada Nabi SAW untuk menikahi putri beliau, Fatimah.”Ali kemudian menjual baju besi dan sejumlah barang-barang miliknya. Hasil penjualan mencapai 480 dirham.

Nabi SAW memerintahkan agar dua per tiga hasil penjualan tersebut dibelikan wewangian, dan sepertiga sisanya untuk pakaian. Beliau memuntahkan air ke dalam sebuah kendi air, lalu beliau perintahkan keduanya untuk mandi dengan air tersebut.

Nabi SAW memerintahkan Fatimah agar jangan lebih dulu menyusui anaknya. Ali menuturkan, “ Fatimah keburu menyusui Husain. Adapun Hasan, Nabi SAW meletakkan sesuatu dalam mulutnya. Aku tidak tahu apa itu. Dan Hasan pun lebih berilmu daripada Husain.”

Ini Dia Konvensi Umar bin Khattab atas Al-Quds


Setelah melakukan pembebasan Al-Quds (Elia) dari tangan Romawi pada tahun 15H / 636M, sayyidina Umar bin Al Khattab RA kemudian menuliskan perjanjian yang menjamin keamanan dan keselamatan seluruh penduduk Elia, baik jiwa, harta maupun kebebasan beragama mereka.

Perjanjian tersebut kemudian terkenal dengan nama Perjanjian Elia (ميثاق ايليا) atau Konvensi Umar (العهدة العمرية) yang ditanda tangani pada tanggal 20 Rabiul Awal 15H (5-2-636 M). Isi perjanjian tersebut sebagai berikut:

“Dengan Nama Allah Yang Maha Esa Pengasih dan Maha Penyayang.
Inilah jaminan keamanan yang diberikan hamba Allah, Umar, Amir al-Mu`minin kepada penduduk Elia: Jaminan keamanan atas jiwa dan harta mereka, atas gereja-gereja dan salib-salib mereka, dalam keadaan sakit ataupun sehat, dan jaminan untuk agama mereka secara keseluruhan dan agar gereja-gereja mereka tidak diduduki dan tidak pula dirusak. 

Tidak akan dikurangi sesuatu apapun dari gereja-gereja itu dan tidak pula dari lingkungannya; serta tidak dari salib mereka, dan tidak sedikitpun dari harta kekayaan mereka (dalam gereja-gereja itu). Mereka tidak akan dipaksa meninggalkan agama mereka, dan tidak dari seorangpun dari mereka boleh diganggu. Dan tidak seorang Yahudi pun boleh tinggal bersama mereka di Elia.

Dan kepada penduduk Elia agar mereka membayar jizyah (retribusi), sebagaimana yang dilakukan penduduk Madain. Dan agar mereka mengusir orang-orang Romawi dan gerombolan pencuri dari Baitul Maqdis.

Teladan Imam Abu Hanifah Biar Tak Lupa Sama Warung Tetangga


Masyarakat modern saat ini lebih gemar berbelanja di minimarket milik segelintir pemodal besar, ketimbang warung tetangga. Padahal bisa jadi warungnya ini yang menjadi sumber nafkah bagi keluarga dan pendidikan anak-anaknya.

Contoh lain, beberapa orang bersikeras menawar harga sayuran di pedagang kecil yang harganya mungkin hanya ribuan perak. Padahal di kesempatan lain, ia bisa menghabiskan uang hingga ratusan ribu hanya untuk makan di restoran tanpa tawar-menawar atau merasa dirugikan.

Baiknya kita mencontoh perbuatan Imam Abu Hanifah yang berlaku ‘anti-mainstream’ kepada seorang penjual seperti dikisahkan dalam kitab Mausu’atul Akhlaq waz Zuhdi war Raqaiq karya Yasir ‘Abdur Rahman.

Pada suatu hari Nu’man bin Tsabit bin Zuta bin Mahan at-Taymi atau lebih dikenal dengan sebutan Abu Hanifah didatangi seorang perempuan yang membawa pakaian sutra di tangannya.

Jumat, 16 Juni 2017

Tahukah Anda Inilah 10 Nama Bulan Ramadhan dalam Al Qur’an dan Hadits

 
Bulan ramadhan adalah bulan istimewa bagi umat islam. Bulan ini adaalah bulan mulia, dimana setiap muslim sangat menantikan bulan suci ini.

Secara bahasa, Ramadhan berasal dari kata ramdha, yarmadhu, yang berarti ‘panas yang terik’ atau ‘panas yang membakar’. Secara maknawiyah, kita bisa menghayati Ramadhan sebagai bulan yang dapat membakar dan melebur segala dosa orang-orang yang berpuasa.

Selain pengertian bahasa dan istilah tersebut, Ramadhan mempunyai sejumlah nama lain yang diambil dari Al-Qur’an dan As Sunnah, maupun diambil dari makna hakikinya.

Berikut ini sepuluh nama bulan ramadhan yang ada dalam Al Qur’an dan As Sunnah:

1. Syahrul ‘ibadah (Bulan Ibadah).
Bulan ramadhan dinamakan bulan ibadah karena kuantitas ibadah umat Islam pada bulan Ramdhan berlipat kali banyaknya dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya.
Hal ini disampaikan oleh Rasulullah SAW:

Saat Rasulullah Dapati Keindahan Malam Lailatul Qadar



Dalam sebuah kisah diceritakan bahwa Rasulullah Saw sedang duduk i’tikaf semalam suntuk pada hari-hari terakhir bulan suci Ramadhan. Para sahabat pun tidak sedikit yang mengikuti apa yang dilakukan Rasulullah.

Ketika Rasulullah berdiri shalat, para sahabat juga menunaikan shalat. Ketika beliau menegadahkan tangannya untuk berdoa, para sahabat pun serempak mengamininya.
Saat itu langit mendung tidak berbintang. Angin pun meniup tubuh-tubuh yang memenuhi masjid. Dalam riwayat tersebut malam itu adalah malam ke-27 dari bulan Ramadhan.
 
Disaat Rasulullah Saw dan para sahabat sujud, tiba-tiba hujan turun cukup deras. Masjid yang tidak beratap itu menjadi tergenang air hujan. Salah seorang sahabat ada yang ingin membatalkan shalatnya, ia bermaksud ingin berteduh dan lari dari shaf, namun niat itu digagalkan karena dia melihat Rasulullah Saw dan sahabat lainnya tetap sujud dengan khusuk tidak bergerak.

Air hujan pun semakin menggenangi masjid dan membasahi seluruh tubuh Rasulullah SAW dan para sahabatnya yang berada di dalam masjid tersebut, akan tetapi Rasulullah Saw dan para sahabat tetap sujud dan tidak beranjak sedikitpun dari tempatnya.

Beliau basah kuyup dalam sujud. Namun sama sekali tidak bergerak. seolah-olah beliau sedang asyik masuk kedalam suatu alam yang melupakan segala-galanya. Beliau sedang masuk kedalam suatu alam keindahan. Beliau sedang diliputi oleh cahaya Ilahi.

Senin, 05 Juni 2017

Ketika Allah Berdialog dengan HambaNya Melalui Surat Al-Fatihah

 
Ustadz, benarkah ketika menunaikan shalat kita sebenarnya sedang berdialog dengan Allah? Bagaimana itu bisa terjadi?

Hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قَالَ اللهُ تَعَالَى: قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ، وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ: {الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ} ، قَالَ اللهُ تَعَالَى: حَمِدَنِي عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ: {الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ}، قَالَ اللهُ تَعَالَى: أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ: {مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ}، قَالَ: مَجَّدَنِي عَبْدِي – وَقَالَ مَرَّةً فَوَّضَ إِلَيَّ عَبْدِي – فَإِذَا قَالَ: {إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ} قَالَ: هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي، وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ: {اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ} قَالَ: هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَل

Allah berfirman, “Aku membagi shalat antara diri-Ku dan hamba-Ku menjadi dua. Untuk hamba-Ku 
 apa yang dia minta.

Apabila hamba-Ku membaca, “Alhamdulillahi rabbil ‘alamin.”
Allah Ta’ala berfirman, “Hamba-Ku memuji-Ku.”

Apabila hamba-Ku membaca, “Ar-rahmanir Rahiim.
”Allah Ta’ala berfirman, “Hamba-Ku mengulangi pujian untuk-Ku.”

Apabila hamba-Ku membaca, “Maaliki yaumid diin.”
Apabila hamba-Ku membaca, “Hamba-Ku mengagungkan-Ku.” Dalam riwayat lain, Allah berfirman, “Hamba-Ku telah menyerahkan urusannya kepada-Ku.”

Apabila hamba-Ku membaca, “Iyyaka na’budu wa iyyaaka nasta’in.”
Allah Ta’ala berfirman, “Ini antara diri-Ku dan hamba-Ku, dan untuk hamba-Ku sesuai apa yang dia minta.”

Apabila hamba-Ku membaca, “Ihdinas-Shirathal mustaqiim….dst. sampai akhir surat.”
Allah Ta’ala berfirman, “Ini milik hamba-Ku dan untuk hamba-Ku sesuai yang dia minta.” (HR. Ahmad 7291, Muslim 395 dan yang lainnya).

Keterangan hadits:

Pertama, Hadits ini menunjukkan bahwa al-Fatihah adalah rukun Shalat, karena Allah menyebut al-Fatihah dengan kata shalat.

Kedua, Al-Fatihah disebut shalat, karena surat ini dibaca saat shalat. Dan seorang hamba yang membaca surat ini ketika shalat, dia hakekatnya sedang melakukan dialog dengan Rabnya.

Ketiga, Allah membagi bacaan al-Fatihah dalam shalat menjadi 2, setengah untuk Allah dan setengah untuk hamba. Setengah untuk Allah ada di bagian awal, bentuknya adalah pujian untuk Allah. Mulai dari ayat, ‘Alhamdulillahi rabbil ‘alamin’ sampai ‘Maliki yaumiddin.’
Sementara setengahnya untuk hamba, yaitu doa memohon petunjuk agar seperti orang yang telah mendapat nikmat.

Keempat, ada satu ayat yang dibagi dua, yaitu ayat iyyaaka na’budu wa iyyaka nasta’in. setengah untuk hamba, setengah untuk Allah. Iyyaka na’budu, ini untuk Allah, dan iyyaka nasta’in, ini untuk hamba.

Itulah dialog antara hamba dengan Allah saat dia membaca surat al-Fatihah. Semoga semakin meningkatkan rasa khusyuk kita ketika menunaikan ibadah shalat.

Mengenai pertanyaan, bagaimana itu bisa terjadi? Bukankah yang membaca surat al-Fatihah itu ribuan manusia? Lalu bagaimana cara Allah berdialog dengan mereka semua.

Pertanyaan ini bukan urusan kita. Allah Maha Kuasa untuk melakukan apapun sesuai yang Dia kehendaki. Dan tidak semua perbuatan Allah, bisa dinalar oleh logika manusia. Kewajiban kita adalah meyakini bahwa itu terjadi secara hakiki, sementara bagaimana prosesnya, Allah yang Maha Tahu. Wallahu a’lam.
 
Sumber: Ustadz Ammi Nur Baits, Konsultasi Syariah.
               Islampos 
              Redaksi ISBAD

Kamis, 23 Februari 2017

Inilah lima orang yang sangat mirip dengan Rasulullah saw

Di kalangan Bani Abdi Manaf ada lima orang yang sangat mirip dengan Rasulullah saw. sehingga seringkali orang salah menerka. Mereka itu adalah: 
  1. Abu Sufyan bin Harits bin Abdul Muthallib, anak paman Nabi saw. sekaligus sebagai saudara sesusuannya. 
  2. Qutsam Ibnul Abbas bin Abdul Muthallib, anak paman Nabi saw. 
  3. Saib bin Ubaid bin Abdi Yazin bin Hasyim, kakek Syafi'i r.a. 
  4. Ja'far bin Abi Thalib, yaitu saudara Ali bin Abi Thalib. 
  5. Hasan bin Ali Bin Abi Thalib, cucu Rasulullah saw. Beliau ini paling mirip dengan Nabi saw. di antara mereka berlima. 
Marilah sekarang kita melihat sisi kehidupan Ja'far bin Abi Thalib. Abi Thalib termasuk bangsawan Quraisy dan mempunyai kedudukan terpandang dalam masyarakat. Namun, kehidupannya susah dan tanggungannya banyak. Ia pernah mengalami keadaan sangat kritis saat kemarau panjang. Tanaman mati karena kekeringan dan banyak orang terpaksa memakan bangkai. Di saat paceklik seperti ini, biasanya tidak ada yang menaruh perhatian untuk meringankan beban Abu Thalib di kalangan Bani Hasyim selain Abbas dan Muhammad bin Abdullah.
Muhammad berkata kepada Abbas, "Wahai paman, saudara paman (yaitu Abu Thalib) memiliki tanggungan yang sangat banyak. Sebagaimana yang paman saksikan, seluruh masyarakat kini sedang ditimpa musibah berupa kemarau panjang dan paceklik yang mengakibatkan banyak orang kelaparan. Marilah kita pergi ke rumah Abu Thalib, saudara paman. Kita ambil alih sebagian tanggungannya untuk meringankan beban keluarganya. Aku mengambil anaknya seorang, dan paman mengambil pula anaknya yang lain. Agaknya dengan begitu, cukup besar artinya untuk meringankan bebannya." 
Abbas berkata, "Usulmu sangat bagus. Engkau betul-betul membangunkanku untuk kebajikan. Marilah kita pergi." 
Mereka pun pergi ke rumah Abu Thalib. Lalu berkata, "Kami datang hendak meringankan beban Anda yang berat. Izinkanlah kami membawa sebagaian anak-anakmu tinggal bersama kami sampai masa sulit yang mencekam seluruh masyarakat ini reda kembali." 
Abu Thalib berkata, "Boleh saja, asal kalian tidak membawa Aqil." Aqil adalah anak laki-laki Abu Thalib yang tertua. 
Muhammad bin Abdullah mengambil Ali bin Abi Thalib lalu digabungkannya dalam keluarganya. Sedangkan Abbas membawa Ja'far bin Abi Thalib dan digabungkannya pula dalam keluarganya. Ali tetap tinggal bersama Muhammad bin Abdullah sampai Allah mengutusnya menjadi rasul dengan agama yang hak. Dan, Ali tercatat sebagai pemuda yang pertama-tama masuk Islam. 
Sementara Ja'far tinggal bersama paman Abbas hingga ia dewasa, lalu dia masuk Islam, dan tidak memerlukan bantuan Abbas lagi. Ja'far dan istrinya, Asma' bin Umais, menerjunkan dirinya dalam kendaraan Islam sejak dari awal. Keduanya menyatakan Islam di hadapan Abu Bakar Shiddiq r.a. sebelum Rasulullah saw. masuk ke rumah Al-Arqam. Pasangan suami istri Bani Hasyim yang muda belia ini tidak luput pula dari penyiksaan kaum kafir Quraisy, sebagaimana yang diderita kaum muslimin yang pertama-tama masuk Islam. 
Tetapi, suami istri ini bersabar menerima segala cobaan yang menimpanya, karena mereka tahu jalan ke surga bertabur duri dengan segala macam kesulitan dan kepedihan. Tetapi yang merisaukan mereka berdua adalah kaum Quraisy membatasi geraknya untuk menegakkan syiar Islam dan melarangnya untuk merasakan kelezatan ibadah. Karena itu, kaum Quraisy senantiasa mengamati gerak-gerik keduanya. Maka, Ja'far bin Abi Thalib beserta istrinya memohon izin kepada Rasulullah saw. untuk hijrah ke Habasyah bersama-sama dengan para sahabat lainnya. Dengan sedih hati Rasulullah saw. mengizinkannya. Sebaliknya, mereka dengan amat berat meninggalkan kampung halaman tempat mereka bermain pada waktu kecil dan waktu muda, tanpa suatu dosa yang mencemarkan, kecuali karena mereka mengucapkan kata-kata "Rabbunallaah" (Rab kami hanyalah Allah). Namun, mereka tidak berdaya untuk menangkis siksaan dan tekanan kaum Quraisy. 
Kendaraan kaum muhajirin yang pertama-tama berangkat ke Habasyah di bawah pimpinan Ja'far bin Abi Thalib r.a. Mereka merasa lega di bawah perlindungan Najasyi, Raja Habasyah yang adil dan saleh. Sejak mereka masuk Islam itulah, mereka baru merasa aman, dapat menikmati kemanisan agama yang mereka anut, bebas dari rasa cemas dan ketakutan yang mengganggu dan yang menyebabkan mereka hijrah. 
Namun, tidak berapa lama setelah kaum Quraisy mengetahui rombongan kaum muslimin yang hijrah ke Habasayah dan mendapat perlindungan raja Najasyi, dapat melaksanakan dinnya dengan tenang dan aman, kaum Quraisy pun terkejut dan khawatir. Mereka kemudian berunding untuk membunuh kaum muhajirin itu atau meminta mereka agar dimasukan penjara. Untuk itu marilah kita dengarkan Ummu Salamah (salah seorang muhajirat) menceritakan kisah nyata yang dilihat dan didengarnya sendiri. 
Ummu Salamah berkata, "Manakala kami tiba di Habasyah, kami disambut dan bertemu dengan tetangga yang baik. Kami dapat melaksanakan agama kami dengan aman, dan beribadah kepada Allah tanpa mendapatkan siksaan atau gangguan yang tidak diinginkan. 
Ketika kaum Quraisy mendengar berita tentang keadaan kami lebih baik, mereka segera berunding untuk mengacaukan kami. Lalu mereka mengutus dua orang diplomat ulung kepada Raja Najasyi, yaitu Amr bin Ash dan Abdullah bin Rabiah dengan membawa persembahan sejumlah hadiah besar untuk Najasyi pribadi, dan untuk para pemuka agama (pendeta) mereka berupa barang-barang mewah dan antik dari Hijaz. Namun, mereka memutuskan untuk tidak memberikan kepada raja terlebih dahulu sebelum memberikannya kepada para pendeta. 
Tatkala kedua utusan itu tiba di Habasyah, mereka terlebih dahulu menemui pemuka agama yang terdekat dengan Najasyi dan memberikan hadiah untuk mereka. Kedua utusan itu berkata, "Telah datang ke negeri Anda, orang-orang bodoh kami. Mereka mengingkari agama nenek moyang dan memecah belah persatuan bangsa. Bila nanti kami berbicara dengan baginda raja, kami harap tuan-tuan dapat menolong kami supaya baginda raja sudi menyerahkan mereka kepada kami, tanpa menanyakan masalah agama, karena pemimpin rombongan mereka sangat pandai berbiara dan mengerti tentang agama yang mereka yakini." 
"Baiklah," jawab pendeta itu. 
Ummu Salamah meneruskan ceritanya, "Namun, apa yang mereka khawatirkan justru itulah yang terjadi. Raja Najasyi memangil salah seorang kami untuk didengar keterangannya." 
Kedua utusan Quraisy menghadap Raja Najasyi dengan membawa persembahan bermacam-macam dan hadiah yang tak ternilai harganya. Baginda raja memuji dan mengagumi persembahan mereka. 
Utusan Quraisy berkata, "Wahai paduka raja telah datang ke negara paduka orang-orang jahat bangsa kami. Mereka datang dengan membawa agama yang tidak pernah kami kenal dan juga belum pernah paduka kenal. Mereka keluar dari agama nenek moyang kami, tetapi tidak pula masuk ke dalam agama paduka. Kami diutus oleh bapak-bapak dan segenap famili untuk menjemput dan membawa mereka kembali pulang, mereka sangat pandai mengada-ada dan membuat fitnah. 
Najasy melihat kepada para pendeta yang berada di sampingnya. Lalu mereka berkata, "Apa yang disampaikan kedua utusan itu memang benar, wahai paduka. Orang yang sebangsa dengan kaum pelarian itu lebih mengeri dan tahu tentang kejahatan mereka. Karena itu sebaiknyalah kaum pelarian itu dikembalikan saja kepada mereka. Terserah kepada mereka apa yang akan diperbuat sesudah itu." 
Baginda raja marah mendengar jawaban dari para pendeta. "Tidak...! Demi Allah...! tidak seorang pun dari mereka akan saya serahkan sebelum saya memanggil mereka dan meminta keterangannya tentang tuduhan yang diberikan kepada mereka. Jika benar mereka orang jahat sebagaimana yang dituduhkan, maka mereka akan saya serahkan. Tetapi, jika tuduhan itu palsu, mereka akan saya lindungi dan akan saya jadikan tetanggaku yang baik selama mereka menghendaki," ucap Najasyi. 
Selanjutnya, kata Ummu Salamah, "Najasyi memangil kami untuk menghadap kepadanya. Sebelum menghadap, terlebih dahulu kami bermusyawarah. Sebagian kami berkata, "Kita dipanggil menghadap baginda raja untuk diminta keterangannya tentang agama kita. Karena itu, kita tentukan saja seorang juru bicara untuk menjelaskan kepada beliau. Pilihan mereka jatuh kepada Ja'far bin Abi Thalib dan yang lainnya tidak diijinkan untuk berbicara." 
Sesudah membuat keputusan, kami pergi menghadap baginda Raja Najasyi. Di dalam majlis raja telah hadir para pendeta pemuka agama. Mereka duduk di kanan kiri baginda. Masing-masing memakai pakaian kebesarannya, lengkap dengan jubah, kopiah dan memegang sebuah kitab di tangan mereka. Di samping para pendeta, kami melihat pula Amr bin Ash dan Abdullah bin Rabiah. 
Setelah duduk dengan tenang di dalam majlis, baginda raja menoleh kepada kami dan berkata, "Agama apakah yang tuan-tuan anut, sehingga tuan-tuan keluar dari agama bangsa tuan-tuan, tetapi tidak pula masuk ke dalam agama kami atau agama-agama lain yang telah ada?" 
Maka tampillah Ja'far bin Abi Thalib menjawab, "Wahai paduka raja, dahulu kami memang bangsa yang bodoh. Kami menyembah berhala, memakan bangkai, berzina, mengerjakan segala pekerjaan keji, saling bermusuhan, tidak mempedulikan tetangga, dan yang kuat selalu memakan yang lemah. Begitulah keadaan kami dahulu sebelum Allah mengutus Rasul-Nya kepada kami. Kami mengenal benar kepribadian Rasul Allah itu. Turunnya, kebenaran setiap kata yang diucapkannya, kejujurannya, kesucian pribadinya yang tidak sedikit jua pun ternoda, dan seterusnya. Dia mengajak kami supaya memeluk agama Allah, mengesakan Allah, beribadah semata-mata kepada-Nya dan supaya meninggalkan agama kami yang lama, yaitu agama nenek moyang kami yang menyembah batu dan berhala. Bahkan dia menyuruh kami agar selalu berbicara benar, senantiasa memegang amanah, menghubungkan sillahturrahmi, bersikap baik kepada tetangga, menghentikan segala perbuatan terlarang, dan petumpahan darah. 
Dia juga melarang kami berzina dan melakukan segala perbutan keji, mengucapkan kata-kata kotor, memakan harta anak yatim, menuduh wanita baik-baik berbuat serong. Dia menyuruh kami beribadah kepada Allah saja, tidak menyekutukan-Nya dengan yang lain-lain. Dia menyuruh kami menegakkan salat, membayar zakat, dan puasa bulan Ramadahan. Kami menerima bak segala perintah dan larangannya. Kami percaya sungguh kepadanya. Dan, kami patuhi segala yang diajarkan Allah kepadanya. Maka kami halalkan segala yang dikatakannya halal dan kami haramkan segala yang dikatakannya haram. Tetapi, wahai paduka raja! Sebagian bangsa kami memusuhi kami karenanya. Mereka menyiksa kami dengan siksaan berat agar kami keluar dari agama yang kami anut itu dan kembali kepada agama lama yang menyembah berhala. Maka tatkala penganiayaan dan penyiksaan mereka terhadap kami sudah demikian memuncak dan kami dihalang-halangi untuk terus melaksanakan ajaran agama kami, lalu kami keluar dari negeri kami dan memilih negeri paduka sebagai tempat kami mengungsi. Karena kami yakin paduka adalah tetangga yang baik dan tidak akan berlaku zalim kepada kami." 
Najasyi berkata kepada Ja'far, "Dapatkah Anda membacakan salah satu ayat yang diajarkan Allah kepada nabi Anda?" 
Ja'far menjawab, "Ya, tentu." 
Najasyi berkata, "Coba bacakan kepada saya." 
Ja'far membaca surat Maryam 1-4, yang artinya, "Kaaf Haa Yaa' 'Ain Shaad. Mengingat rahmat Rabmu kepada hamba-Nya Zakariya. Ketika ia berseru kepada Rabnya dengan suara perlahan-lahan. Dia berdo'a, "Wahai Rabku, sesungguhnya tulangku sudah lemah, dan kepalaku sudah beruban, dan aku belum pernah beruntung (bila) memohon kepada Engkau, wahai Rabku." 
Baru saja Ja'far selesai membacakan ayat-ayat permulaan surat tesebut, Najasyi menangis sehingga jenggotnya basah oleh air mata. Begitu pula para pastor turut menangis sehingga kitab di tangan mereka basah demi mendengar kalam Allah tersebut. 
Najasyi berkata kepada kami, "Sesungguhnya agama yang dibawa nabi tuan-tuan dan agama yang dibawa Nabi Isa berasal dari satu sumber." 
Kemudian dia berpaling kepada Amr bin Ash dan Abdullah bin Rabiah seraya berkata, "Pergilah kalian, demi Allah, saya tidak akan menyerahkan mereka kepada kalian selama-lamanya." 
Ummu Salamah selanjutnya berkata, "Ketika kami keluar dari majlis Najasyi, Amr bin Ash mengancam kami. Dia berkata kepada temannya, Abdullah bin Rabiah, "Demi Allah, besok akan saya datangi baginda raja. Akan saya katakan kepada baginda ucapan orang-orang ini yang pasti akan membuat hati baginda raja marah dan benci kepada mereka. Akan saya sebutkan kepada baginda secara tuntas kebusukan-kebusukan hati orang-orang ini." 
"Ah, jangan! Bukankah mereka ini karib kerabat kita juga, sekalipun mereka berselisih paham dengan kita," kata Abdullah bin Rabiah. 
Amr bin Ash berkata, "Biar saja, demi Allah, akan saya ceritakan kepada baginda besok. Demi Allah, akan saya ceritakan kepada baginda, bahwa orang-orang ini mengatakan Isa bin Maryam adalah hamba sahaya." 
Keesokan harinya Amr bin Ash menghadap Raja Najasyi dan berkta, "Wahai paduka raja, orang-orang yang paduka lindungi memandang rendah Isa bin Maryam. Cobalah paduka panggil lagi dan bertanya kepada mereka." 
Ummu Salamah melanjutkan ceritanya, "Setelah mengetahui tindakan Amr itu kami sungguh terpana. Kami tidak berpendirian begitu, jangankan pula untuk mengucapkan kata-kata yang menghina Nabi Isa bin Maryam. Lalu kami bermusyawarah tentang jawaban apa yang paling tepat mengenai persoalan itu, jika nanti baginda raja menanyakannya. Kami sepakat, "Demi Allah, kita tidak akan memberi jawaban melainkan dengan firman Allah. Kita tidak boleh keluar seujung kuku pun dari ajaran Nabi kita, dan harus senantiasa begitu." 
Kemudian menunjuk kembali Ja'far bin Abi Thalib menjadi juru bicara. Ketika dipanggil baginda raja, kami pun datang menghadap. Kami dapati para pastor telah hadir seperti kemarin. Di samping mereka terlihat pula Amr bin Ash dan kawannya. Segera kami duduk di hadapan baginda, lalu ia bertanya kepada kami, "Bagaimana pendapat tuan-tuan tentang Isa bin Maryam?" 
Ja'far berkata, "Kami mempercayainya sebagaimana diajarkan nabi kami." 
Najasyi berkata, "Bagaimana ajaran nabi tuan-tuan mengenai beliau." 
Ja'far menjawab, "Beliau bersabda, "Sesungguhnya Isa adalah hamba Allah dan Rasul-Nya, ruh-Nya, dan firman-Nya yang ditujukan kepada Maryam yang senantiasa perawan suci." 
Mendengar jawaban Ja'far itu, Najasyi menepukkan tangannya ke lantai seraya berkata, "Demi Allah tidak berbeda seujung rambut pun ajaran Isa bin Maryam dengan ajaran nabi tuan-tuan." 
Para pastor bernafas panjang, sebagai protes terhadap ucapan Najasyi. Lalu Najasyi berkata kepada para pendeta, "Sekalipun kalian mencemooh, pergilah kalian! Kalian percaya terhadap orang-orang yang telah menyogok dan mendatangkan malapetaka pada kalian. Demi Allah, saya tidak suka menerima emas walaupun sebesar gunung, tetapi mencelakai salah seorang kamu dengan suatu kejahatan. Kemudian Najasyi menengok kepada Amr bin Ash dan kawannya seraya berkata, "Kembalikan semua hadiah-hadiah yang dipersembahkan kedua orang ini, saya tidak butuh persembahan mereka." 
Ummu Salamah melanjutkan ceritanya, "Amr bin Ash dan kawannya keluar dengan hati berkeping-keping dan sangat kecewa. Dia kalah total, mendapat kegagalan dan kekecewaan yang memalukan. Dan kami dibolehkan tetap tinggal di sisi Najasyi, di negeri yang baik dan penduduk yang berhati mulia pula." 
Ja'far bin Abi Thalib beserta istri tinggal dengan aman dan tenang dalam perlindungan Najasyi yang ramah tamah itu selama sepuluh tahun. 
Pada tahun ke tujuh hijrah, kedua suami isteri itu meninggalkan Habasyah dan hijrah ke Yatsrib. Kebetulan Rasulullah saw. baru saja pulang dari Khaibar. Beliau sangat gembira bertemu dengan Ja'far sehingga karena kegembiraannya beliau berkata, "Aku tidak tahu mana yang menyebabkan aku gembira, apakah karena kemenangan di Khaibar atau karena kedatangan Ja'far?" 
Begitu pula kaum muslimin umumnya, terlebih fakir miskin, mereka juga bergembira dengan kedatangan Ja'far. Ja'far sangat penyantun dan banyak membela golongan duafa, sehinga dia digelari Abil Masakin (bapak orang-orang miskin). 
Abu Hurairah bercerita tentang Ja'far. Ia berkata, "Orang yang paling baik kepada kami (golongan orang-orang miskin) ialah Ja'far bin Abi Thalib. Dia sering mengajak kami makan di rumahnya, lalu kami makan apa yang ada. Bila makanannya sudah habis, diberikannya kepada kami pancinya, lalu kami habiskan sampai dengan kerak-keraknya." 
Belum begitu lama Ja'far tinggal di Madinah, pada awal tahun kedelapan hijriah Rasululalh saw. menyiapkan pasukan tentara untuk memerangi tentara Rum di Muktah. Beliau mengangkat Zaid bin Haritsah menjadi komandan pasukan. 
Rasululalh saw. bersabda, "Jika Zaid tewas atau cidera, komandan digantikan Ja'far bin Abi Thalib. Seandainya Ja'far tewas atau cidera pula, dia digantikan Abdullah bin Rawahah. Dan, apabila Abdullah bin Rawahah cidera atau gugur pula, hendaklah kaum muslmin memilih pemimpin/komandan di antara mereka. " 
Setelah pasukan sampai di Muktah, yaitu sebuah kota dekat Syam dalam wilayah Yordan, mereka mendapati tentara Rum telah siap menyambut kedatangan mereka dengan kekuatan 100.000 pasukan inti yang terlatih, berpengalaman, dan membawa persenjataan lengkap. Pasukan mereka juga terdiri dari 100 ribu milisi Nasrani Arab dari kabilah-kabilah Lakham, Judzam, Qudha'ah, dan lain-lain. Sementara, tentara kaum muslimin yang dipimpin Zaid bin Haritsah hanya berkekuatan 3000 tentara. 
Begitu kedua pasukan yang tidak seimbang itu berhadap-hadapanan, pertempuran segera berkobar dengan hebatnya. Zaid bin Haritsah gugur sebagai syuhada ketika dia dan tentaranya sedang maju menyerbu ke tengah-tengah musuh. 
Melihat Zaid jatuh, Ja'far segera melompat dari punggung kudanya yang kemerah-merahan, lalu dipukulnya kaki kuda itu dengan pedang, agar tidak dapat dimanfaatkan musuh selama-lamanya. Kemudian secepat kilat disambarnya bendera komando Rasulullah dari tangan Zaid, lalu diacungkan tinggi-tinggi sebagai tanda pimpinan kini beralih kepadanya. Dia maju ke tengah-tengah barisan musuh sambil mengibaskan pedang kiri dan kanan memukul rubuh setiap musuh yang mendekat kepadanya. Akhirnya musuh dapat mengepung dan mengeroyoknya. Sementara dia bersenandung menyanyikan sajak nan indah 
Wahai ... surga nan nikmat sudah mendekat
Minuman segar, tercium harum
Tetapi engkau Rum ... Rum....
Menghampiri siksa
Di malam gelap gulita, jauh dari keluarga
Tugasku ... menggempurmu ..
Ja'far berputar-putar mengayunkan pedang di tengah-tengah musuh yang mengepungnya. Dia mengamuk menyerang musuh ke kanan dan kiri dengan hebat. Suatu ketika tangan kanannya terkena sabetan musuh sehingga buntung. Maka dipegannya bendera komando dengan tangan kirinya. Tangan kirinya putus pula terkena sabetan pedang musuh. Dia tidak gentar dan putus asa. Dipeluknya bendera komando ke dadanya dengan kedua lengan yang masih utuh. Tetapi, tidak berapa lama kemudian, kedua lengannya tinggal sepertiga saja dibuntung musuh. Secepat kilat Abdullah bin Rawahah merebut bendera komando dari komando Ja'far bin Abi Thalib. Pimpinan kini berada di tangan Abdullah bin Rawahah, sehingga akhirnya dia gugur pula sebagai syuhada', menyusul kedua sahabatnya yang telah syahid lebih dahulu. 
Rasulullah saw. sangat sedih mendapat berita ketiga panglimanya gugur di medan tempur. Beliau pergi ke rumah Ja'far bin Abi Thalib anak pamannya. Didapatinya Asma', isteri Ja'far, sedang bersiap-siap menunggu kedatangan suaminya. Dia mengaduk adonan roti, merawat anak-anak, memandikan dan memakaikan baju mereka yang bersih. 
Asma' bercerita, "Ketika Rasulullah mengunjungi kami, terlihat wajah beliau diselubungi kabut sedih. Hatiku cemas, tetapi aku tidak berani menanyakan apa yang terjadi, karena aku takut mendengar berita buruk. Beliau memberi salam dan menanyakan anak-anak kami. 
Beliau berkata, "Mana anak-anak Ja'far, suruh mereka ke sini." 
Maka kupanggil mereka semua dan kusuruh menemui Rasulullah saw. Anak-anak berlompatan kegirangan mengetahui kedatangan beliau. Mereka berebutan untuk bersalaman kepada beliau. Beliau menengkurapkan mukanya kepada anak-anak sambil menciumi mereka penuh haru. Air mata beliau mengalir membasahi pipi mereka. Saya bertanya, "Ya Rasulullah, demi Allah, mengapa anda menangis? Apa yang terjadi dengan Ja'far dan kedua sahabatnya?" 
Beliau menjawab, "Ya ..., mereka telah syahid hari ini." Mendengar jawaban beliau, maka reduplah senyum kegirangan di wajah anak-anak, apalagi setelah mendengar ibu mereka menangis tersedu-sedu. Mereka diam terpaku di tempat masing-masing, seolah-olah seekor burung sedang bertengger di kepala mereka. Rasulullah berucap sambil menyeka air matanya,
"Wahai Allah, gantilah Ja'far bagi anak-anaknya ... wahai Allah, gantilah Ja'far bagi isterinya." Kemudian kata beliau selanjutnya, "Aku melihat sungguh Ja'far berada di surga. Dia mempunyai dua sayap berlumuran darah dan bertanda di kakinya." Wallahua'lam.( suaramedia )

Minggu, 15 Januari 2017

Inilah Rahasia Tersembunyi Adzan yang Mungkin Belum Anda Ketahui

 


Anda mungkin pernah mengirimkan chat di WhatsApp atau BBM, namun responnya hanya di Read tanpa ada pesan balasan pada chat Anda.
Bagaimana perasaan Anda? Marah dan kesal adalah hal manusiawi jika hal demikian terjadi.

Lalu bagaimana dengan Allah SWT sang Maha Pencipta? Saat panggilan Adzan untuk menghadapnya dalam sholat Anda abaikan? Pernahkah Anda memikirkannya?

Sebuah anugrah dirasakan warga Tanah Air, suara adzan selalu terdengar disudut kota. Berbeda di beberapa negara dengan muslim minoritas, dimana mereka terkadang sulit menemukan masjid bahkan merdunya suara adzan kadang tak terdengar.

Adzan memang sebagai alarm pengingat manusia ditengah aktivitas dunia untuk menghentikan sejenak dan menghadap penciptanya. Namun tetap saja, ada sebagian manusia yang berpura-pura tuli seakan tak mendengarnya.

Tahukah Anda? ternyata adzan adalah penyelamat manusia dari kematian. Terdapat beberapa hal menakjubkan lainnya dibalik suara Adzan.

Seperti dilansir tandapagar, inilah beberapa rahasia dibalik adzan yang mungkin belum Anda ketahui:

Saar Adzan Berhenti Berkumandang, Saat Itulah Kiamat Tiba
Jika Allah sudah melihat bahwa tidak ada lagi atau tidak ada satupun hambanya yang taat dan beribadah, maka saat itulah bumi akan dihancurkan. 

Adzan Tak Pernah Berhenti, Ia Selalu Berkumandang Bergantian Mengelilingi Bumi
Ketika satu tempat selesai adzan maka waktu akan bergeser dan kemudian adzan akan dikumandangkan di tempat lain. Begitulah seterusnya, lantunan adzan seolah bersahut-sahutan dan mengiringi perputaran bumi pada poronnya.

Adzan Bukan Hanya Panggilan untuk Sholat
Adzan bukan hanya panggilan waktu sholat, adzan juga menjadi penanda ketika bayi lahir dan ketika hendak menguburkan jenazah.

Adzan Sebagai Ikrar Kemenangan Perang
Pada zaman Rasulullah, adzan juga berfungsi untuk memperkuat ukhuwah saat melakukan perang. Salah satu contohnya adalah ketika peristiwa Fathul Makkah (Kemenagan Kota Mekkah). Pada saat itu Mekkah pertama kalinya dikuasai umat muslim secara keseluruhan. Rasulullah mengutus Bilal Bin Rabbah untuk naik ke Ka'bah dan mengumandangkan adzan.

Pahala Adzan yang Begitu Besar
Rasulullah bersabda dalam hadist yang diriwayatkan oleh Iman Muslim, “Sesungguhnya, para muadzin itu adalah orang yang paling panjang lehernya di hari kiamat.”
Apa maksud dari ‘panjang leher’? Menurut ahli tafsir panjang leher memiliki arti panjang pahala dan kebaikannya.

Sumber : satumedia
                 Redaksi ISBAD

Ini Arti Nama Bulan Hijriyah


 hijriyah

Kaum muslimin banyak menggunakan penanggalan Hijriyah dalam kehidupan sehari-hari di samping penanggalan Masehi.
Hijriyah diawali dari peristiwa hijrah Nabi Muhammad s.a.w dari kota Mekah ke kota Madinah.
Jumlah bulan Hijriyah sama dengan jumlah bulan dalam penanggalan Masehi yaitu sama-sama 12 bulan.
Perbedaanya yaitu bulan-bulan Hijriyah lamanya antara 29 dan 30 hari dan dihitung berdasarkan peredaran bulan.

 Berikut ini arti nama-nama bulan Hijriyah tersebut:
  1. Muharram, artinya yang diharamkan untuk berperang. Pada bulan ini Allah mengharamkan kaum Muslimin untuk berperang kecuali kalau mereka diserang musuh.
  2. Shafar, artinya daun yang menguning; Shafar menurut arti katanya adalah  kuning. Hal ini dihubungkan dengan keadaan alam yang biasanya terjadi pada bulan itu yakni menguningnya daun-daun karena panas yang sangat terikt.
  3. Rabi’ul Awwal, artinya musim semi pertama; Robi’ul awal itu artinya seperempat pertama karena bulan ini merupakan bulan ketiga dari dua belas bulan atau bisa kita artikan sebagai triwulan pertama. Bulan ini sering juga disebut bulan Maulid yang artinya kelahiran, karena pada tanggal duabelas  Rabiul Awal Nabi Muhammad s.a.w dilahirkan.
  4. Rabi’uts Tsani, artinya musim semi yang kedua. Artinya seperepat kedua atau dalam bahasa kita sehari-hari yaitu triwulan kedua karena bulan ini merupakan bulan keempat.
  5. Jumadil Awwal, artinya masa air membeku yang pertama. Jumud dalam bahasa Arab artinya beku, jadi bulan ini adalah bulan mulai terjadinya musim dingin pertama.
  6. Jumadits Tsani, artinya masa air membeku yang kedua. Bulan ini merupakan bulan musim dingin yang kedua.
  7. Rajab, artinya masa air yang membeku mulai mencair. Pada bulan ini air yang membeku mulai mencair, berarti suhu udara mulai naik lagi.
  8. Sya’ban, artinya lembah-lembah yang mulai ramai digarap penduduk untuk bercocok tanam atau beternak. Pada bulan ini para petani mulai menggarap lahan pertaniannya.
  9. Ramadhan, artinya panas yang membakar. Bulan ini diberi nama Ramadhan karena suhu udaranya panas seperti terbakar. Pada bulan ini kaum Muslimin diwajibkan berpuasa selama saatu bulan. karena itu sering kita dengar bahwa bulan Romadhon itu merupakan bulan pembakaran dosa.
  10. Syawwal, artinya peningkatan panas yang membakar tersebut. Bulan Syawal ini lebih panas dari Ramadhon karena itu disebut Syawal yang artinya peningkatan. Dikaitkan dengan bulan Ramadhon yang diisi dengan ibadah shaum sebagai pelatihan diri, maka bulan Syawal diartikan sebagai bulan peningkatan kualitas diri setelah melaksanakan shaum. Pada tanggal 1 Syawal kaum Muslimin menyambutnya sebagai Hari Raya Idul Fitri yang atinya kembali kepada fitrah kesucian diri.
  11. Dzul Qa’dah, artinya yang di dalamnya banyak orang yang hanya duduk-duduk karena panasnya udara. Disebut Dzulqo’dah Bulan ini merupakan bulan istirahat di rumah. Orang-orang jarang ke luar rumah karena panasnya udara luar.
  12. Dzulhijjah, artinya yang di dalamnya ada haji. Disebut Dzulhijjah karena pada bulan  inilah  kaum muslimin melaksanakan ibadah haji di Mekah dan sekitarnya.  
Sumber : INSPIRADATA
               Redaksi ISBAD

Seberapa Kaya Umar bin Khattab.....???


 


Selama ini, kita hanya mengetahui bahwa hanya ada dua sahabat Rasul yang benar-benar sangat kaya, yaitu Abdurrahman bin Auf dan Ustman bin Affan. Namun sebenarnya, sejarah juga sedikit banyak seperti “mengabaikan” kekayaan yang dipunyai oleh sahabat-sahabat yang lain.


Ingat perkataan Umar bin Khattab bahwa ia tak pernah bisa mengalahkan amal sholeh Abu Bakar? Itu artinya, siapapun tak bisa menandingi jumlah sedekah dan infaqnya Abu Bakar As-Shiddiq.
 
Lantas, bagaimana dengan kekayaan Umar bin Khattab sendiri? Khalifah setelah Abu Bakar itu dikenal sangat sederhana. Tidur siangnya beralaskan tikar dan batu bata di bawah pohon kurma, dan ia hampir tak pernah makan kenyang, menjaga perasaan rakyatnya. Padahal, Umar adalah seorang yang juga sangat kaya.

Ketika wafat, Umar bin Khattab meninggalkan ladang pertanian sebanyak 70.000 ladang, yang rata-rata harga ladangnya sebesar Rp 160 juta—perkiraan konversi ke dalam rupiah. Itu berarti, Umar meninggalkan warisan sebanyak Rp 11,2 Triliun. Setiap tahun, rata-rata ladang pertanian saat itu menghasilkan Rp 40 juta, berarti Umar mendapatkan penghasilan Rp 2,8 Triliun setiap tahun, atau 233 Miliar sebulan.

Umar ra memiliki 70.000 properti. Umar ra selalu menganjurkan kepada para pejabatnya untuk tidak menghabiskan gajinya untuk dikonsumsi. Melainkan disisakan untuk membeli properti. Agar uang mereka tidak habis hanya untuk dimakan.

Namun begitulah Umar. Ia tetap saja sangat berhati-hati. Harta kekayaannya pun ia pergunakan untuk kepentingan dakwah dan umat. Tak sedikit pun Umar menyombongkan diri dan mempergunakannya untuk sesuatu yang mewah dan berlebihan

Referensi:
Fikih Ekonomi Umar Bin Al-Khathab / Penulis : Dr. Jaribah Bin Ahmad Al-Haritsi / Pustaka Al-Kautsar.


Sumber :
INSPIRADATA

Redaksi ISBAD