" IKATAN SILATURAHMI BAHAGIA DUA, KREO SELATAN "

Sabtu, 17 Juni 2017

Beginilah Kami Memperlakukan Ulama

Gurun Pasir
Selepas menshalati jenazah sang ibunda, Zaid bin Tsabit pulang dengan menaiki bighãl (bagal). Saat akan menunggangi hewan peranakan kuda dan keledai itu, sepupu Rasulullah, Ibnu ‘Abbas, tiba-tiba menghampiri lalu memegang tali kendali tunggangan tersebut. Ibnu ‘Abbas hendak menuntunnya sebagai bentuk penghormatan.

Keduanya adalah sahabat Rasulullah yang istimewa. Zaid merupakan sahabat cerdas yang pada zaman Rasulullah dipercaya sebagai penulis wahyu. Ia adalah sekretaris pribadi Nabi yang keulamaannya diakui di Madinah. Ibnu ‘Abbas pun tak kalah hebat. Putra ‘Abbas bin Abdul Muthallib ini memiliki wawasan luas. Banyak hadits yang keluar melalui jalur riwayatnya.
Namun demikian, kali ini atas sikap rendah hatinya, Ibnu ‘Abbas rela melayani Zaid. Zaid bin Tsabit yang merasa sungkan diperlakukan demikian oleh Ibnu ‘Abbas pun bertutur sopan, “Lepaskanlah, wahai anak paman Rasulullah!”

“Beginilah kami memperlakukan ulama,” jawab Ibnu ‘Abbas memuji keutamaan Zaid bin Tsabit. Bagi Ibnu ‘Abbas, orang biasa seperti dirinya sudah sepantasnya menghormati sahabat selevel Zaid.

Sontak, Zaid mencium tangan Ibnu ‘Abbas. “Beginilah kami diperintah dalam memperlakukan keluarga Nabi,” katanya. Ini adalah sikap balasan atas ketawadukan Ibnu ‘Abbas. Kerendahan hati dibalas kerendahan hati.

Sirah Allah Perintahkan Rasulullah untuk Menikahkan Fatimah dengan Ali

Pada tahun 2 hijriyah, Ali menikahi Fatimah. Ini terjadi selepas perang Badar Al-Kubra. Rasulullah SAW bersabda,”Sungguh, Allah memerintahkankku untuk menikahkan Fatimah dengan Ali.”

Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib RA, ia menuturkan,”Aku menyampaikan pinangan kepada Nabi SAW untuk menikahi putri beliau, Fatimah.”Ali kemudian menjual baju besi dan sejumlah barang-barang miliknya. Hasil penjualan mencapai 480 dirham.

Nabi SAW memerintahkan agar dua per tiga hasil penjualan tersebut dibelikan wewangian, dan sepertiga sisanya untuk pakaian. Beliau memuntahkan air ke dalam sebuah kendi air, lalu beliau perintahkan keduanya untuk mandi dengan air tersebut.

Nabi SAW memerintahkan Fatimah agar jangan lebih dulu menyusui anaknya. Ali menuturkan, “ Fatimah keburu menyusui Husain. Adapun Hasan, Nabi SAW meletakkan sesuatu dalam mulutnya. Aku tidak tahu apa itu. Dan Hasan pun lebih berilmu daripada Husain.”

Ini Dia Konvensi Umar bin Khattab atas Al-Quds


Setelah melakukan pembebasan Al-Quds (Elia) dari tangan Romawi pada tahun 15H / 636M, sayyidina Umar bin Al Khattab RA kemudian menuliskan perjanjian yang menjamin keamanan dan keselamatan seluruh penduduk Elia, baik jiwa, harta maupun kebebasan beragama mereka.

Perjanjian tersebut kemudian terkenal dengan nama Perjanjian Elia (ميثاق ايليا) atau Konvensi Umar (العهدة العمرية) yang ditanda tangani pada tanggal 20 Rabiul Awal 15H (5-2-636 M). Isi perjanjian tersebut sebagai berikut:

“Dengan Nama Allah Yang Maha Esa Pengasih dan Maha Penyayang.
Inilah jaminan keamanan yang diberikan hamba Allah, Umar, Amir al-Mu`minin kepada penduduk Elia: Jaminan keamanan atas jiwa dan harta mereka, atas gereja-gereja dan salib-salib mereka, dalam keadaan sakit ataupun sehat, dan jaminan untuk agama mereka secara keseluruhan dan agar gereja-gereja mereka tidak diduduki dan tidak pula dirusak. 

Tidak akan dikurangi sesuatu apapun dari gereja-gereja itu dan tidak pula dari lingkungannya; serta tidak dari salib mereka, dan tidak sedikitpun dari harta kekayaan mereka (dalam gereja-gereja itu). Mereka tidak akan dipaksa meninggalkan agama mereka, dan tidak dari seorangpun dari mereka boleh diganggu. Dan tidak seorang Yahudi pun boleh tinggal bersama mereka di Elia.

Dan kepada penduduk Elia agar mereka membayar jizyah (retribusi), sebagaimana yang dilakukan penduduk Madain. Dan agar mereka mengusir orang-orang Romawi dan gerombolan pencuri dari Baitul Maqdis.

Teladan Imam Abu Hanifah Biar Tak Lupa Sama Warung Tetangga


Masyarakat modern saat ini lebih gemar berbelanja di minimarket milik segelintir pemodal besar, ketimbang warung tetangga. Padahal bisa jadi warungnya ini yang menjadi sumber nafkah bagi keluarga dan pendidikan anak-anaknya.

Contoh lain, beberapa orang bersikeras menawar harga sayuran di pedagang kecil yang harganya mungkin hanya ribuan perak. Padahal di kesempatan lain, ia bisa menghabiskan uang hingga ratusan ribu hanya untuk makan di restoran tanpa tawar-menawar atau merasa dirugikan.

Baiknya kita mencontoh perbuatan Imam Abu Hanifah yang berlaku ‘anti-mainstream’ kepada seorang penjual seperti dikisahkan dalam kitab Mausu’atul Akhlaq waz Zuhdi war Raqaiq karya Yasir ‘Abdur Rahman.

Pada suatu hari Nu’man bin Tsabit bin Zuta bin Mahan at-Taymi atau lebih dikenal dengan sebutan Abu Hanifah didatangi seorang perempuan yang membawa pakaian sutra di tangannya.

Jumat, 16 Juni 2017

Tahukah Anda Inilah 10 Nama Bulan Ramadhan dalam Al Qur’an dan Hadits

 
Bulan ramadhan adalah bulan istimewa bagi umat islam. Bulan ini adaalah bulan mulia, dimana setiap muslim sangat menantikan bulan suci ini.

Secara bahasa, Ramadhan berasal dari kata ramdha, yarmadhu, yang berarti ‘panas yang terik’ atau ‘panas yang membakar’. Secara maknawiyah, kita bisa menghayati Ramadhan sebagai bulan yang dapat membakar dan melebur segala dosa orang-orang yang berpuasa.

Selain pengertian bahasa dan istilah tersebut, Ramadhan mempunyai sejumlah nama lain yang diambil dari Al-Qur’an dan As Sunnah, maupun diambil dari makna hakikinya.

Berikut ini sepuluh nama bulan ramadhan yang ada dalam Al Qur’an dan As Sunnah:

1. Syahrul ‘ibadah (Bulan Ibadah).
Bulan ramadhan dinamakan bulan ibadah karena kuantitas ibadah umat Islam pada bulan Ramdhan berlipat kali banyaknya dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya.
Hal ini disampaikan oleh Rasulullah SAW:

Saat Rasulullah Dapati Keindahan Malam Lailatul Qadar



Dalam sebuah kisah diceritakan bahwa Rasulullah Saw sedang duduk i’tikaf semalam suntuk pada hari-hari terakhir bulan suci Ramadhan. Para sahabat pun tidak sedikit yang mengikuti apa yang dilakukan Rasulullah.

Ketika Rasulullah berdiri shalat, para sahabat juga menunaikan shalat. Ketika beliau menegadahkan tangannya untuk berdoa, para sahabat pun serempak mengamininya.
Saat itu langit mendung tidak berbintang. Angin pun meniup tubuh-tubuh yang memenuhi masjid. Dalam riwayat tersebut malam itu adalah malam ke-27 dari bulan Ramadhan.
 
Disaat Rasulullah Saw dan para sahabat sujud, tiba-tiba hujan turun cukup deras. Masjid yang tidak beratap itu menjadi tergenang air hujan. Salah seorang sahabat ada yang ingin membatalkan shalatnya, ia bermaksud ingin berteduh dan lari dari shaf, namun niat itu digagalkan karena dia melihat Rasulullah Saw dan sahabat lainnya tetap sujud dengan khusuk tidak bergerak.

Air hujan pun semakin menggenangi masjid dan membasahi seluruh tubuh Rasulullah SAW dan para sahabatnya yang berada di dalam masjid tersebut, akan tetapi Rasulullah Saw dan para sahabat tetap sujud dan tidak beranjak sedikitpun dari tempatnya.

Beliau basah kuyup dalam sujud. Namun sama sekali tidak bergerak. seolah-olah beliau sedang asyik masuk kedalam suatu alam yang melupakan segala-galanya. Beliau sedang masuk kedalam suatu alam keindahan. Beliau sedang diliputi oleh cahaya Ilahi.

Senin, 05 Juni 2017

Ketika Allah Berdialog dengan HambaNya Melalui Surat Al-Fatihah

 
Ustadz, benarkah ketika menunaikan shalat kita sebenarnya sedang berdialog dengan Allah? Bagaimana itu bisa terjadi?

Hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قَالَ اللهُ تَعَالَى: قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ، وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ: {الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ} ، قَالَ اللهُ تَعَالَى: حَمِدَنِي عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ: {الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ}، قَالَ اللهُ تَعَالَى: أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ: {مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ}، قَالَ: مَجَّدَنِي عَبْدِي – وَقَالَ مَرَّةً فَوَّضَ إِلَيَّ عَبْدِي – فَإِذَا قَالَ: {إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ} قَالَ: هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي، وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ: {اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ} قَالَ: هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَل

Allah berfirman, “Aku membagi shalat antara diri-Ku dan hamba-Ku menjadi dua. Untuk hamba-Ku 
 apa yang dia minta.

Apabila hamba-Ku membaca, “Alhamdulillahi rabbil ‘alamin.”
Allah Ta’ala berfirman, “Hamba-Ku memuji-Ku.”

Apabila hamba-Ku membaca, “Ar-rahmanir Rahiim.
”Allah Ta’ala berfirman, “Hamba-Ku mengulangi pujian untuk-Ku.”

Apabila hamba-Ku membaca, “Maaliki yaumid diin.”
Apabila hamba-Ku membaca, “Hamba-Ku mengagungkan-Ku.” Dalam riwayat lain, Allah berfirman, “Hamba-Ku telah menyerahkan urusannya kepada-Ku.”

Apabila hamba-Ku membaca, “Iyyaka na’budu wa iyyaaka nasta’in.”
Allah Ta’ala berfirman, “Ini antara diri-Ku dan hamba-Ku, dan untuk hamba-Ku sesuai apa yang dia minta.”

Apabila hamba-Ku membaca, “Ihdinas-Shirathal mustaqiim….dst. sampai akhir surat.”
Allah Ta’ala berfirman, “Ini milik hamba-Ku dan untuk hamba-Ku sesuai yang dia minta.” (HR. Ahmad 7291, Muslim 395 dan yang lainnya).

Keterangan hadits:

Pertama, Hadits ini menunjukkan bahwa al-Fatihah adalah rukun Shalat, karena Allah menyebut al-Fatihah dengan kata shalat.

Kedua, Al-Fatihah disebut shalat, karena surat ini dibaca saat shalat. Dan seorang hamba yang membaca surat ini ketika shalat, dia hakekatnya sedang melakukan dialog dengan Rabnya.

Ketiga, Allah membagi bacaan al-Fatihah dalam shalat menjadi 2, setengah untuk Allah dan setengah untuk hamba. Setengah untuk Allah ada di bagian awal, bentuknya adalah pujian untuk Allah. Mulai dari ayat, ‘Alhamdulillahi rabbil ‘alamin’ sampai ‘Maliki yaumiddin.’
Sementara setengahnya untuk hamba, yaitu doa memohon petunjuk agar seperti orang yang telah mendapat nikmat.

Keempat, ada satu ayat yang dibagi dua, yaitu ayat iyyaaka na’budu wa iyyaka nasta’in. setengah untuk hamba, setengah untuk Allah. Iyyaka na’budu, ini untuk Allah, dan iyyaka nasta’in, ini untuk hamba.

Itulah dialog antara hamba dengan Allah saat dia membaca surat al-Fatihah. Semoga semakin meningkatkan rasa khusyuk kita ketika menunaikan ibadah shalat.

Mengenai pertanyaan, bagaimana itu bisa terjadi? Bukankah yang membaca surat al-Fatihah itu ribuan manusia? Lalu bagaimana cara Allah berdialog dengan mereka semua.

Pertanyaan ini bukan urusan kita. Allah Maha Kuasa untuk melakukan apapun sesuai yang Dia kehendaki. Dan tidak semua perbuatan Allah, bisa dinalar oleh logika manusia. Kewajiban kita adalah meyakini bahwa itu terjadi secara hakiki, sementara bagaimana prosesnya, Allah yang Maha Tahu. Wallahu a’lam.
 
Sumber: Ustadz Ammi Nur Baits, Konsultasi Syariah.
               Islampos 
              Redaksi ISBAD