Ammar bin Yasir merupakan sahabat as sabiqunal awwalin, kelompok sahabat
yang terdahulu memeluk Islam. Tidak tanggung-tanggung, setelah memeluk
Islam, ia berhasil mengajak ibu dan ayahnya memproleh hidayah yang sama.
Ayahnya, Yasir bin Amir adalah perantau dari Yaman yang bersahabat dengan Abu Hudzaifah bin Mughirah, dan dinikahkan dengan sahayanya, Sumayyah bin Khayyath.
Karena mereka ini, Ammar dan kedua orang tuanya, termasuk keluarga miskin, kaum Quraisy menjadikan mereka sebagai sasaran penyiksaan
karena pilihan mereka memeluk Islam. Bani Makhzum, tempat mereka
berlindung selama ini sangat marah ketika mengetahui mereka telah murtad
dari agama nenek moyangnya. Penyiksaan demi penyiksaan dilakukan tanpa
kasihan kepada keluarga ini, tetapi semua itu tidak menambahkan kecuali
keimanan dan keyakinan kepada agama barunya, Islam. Dibiarkan di terik
matahari padang
pasir, didera, disulut dengan api menyala, dan berbagai tindakan
mengerikan di luar peri kemanusiaan diberlakukan kepada mereka untuk
mengembalikan kepada agama jahiliahnya, tetapi sia-sia saja.
Suatu ketika Rasulullah SAW mengunjungi mereka bertiga yang sedang
disiksa, beliau mengagumi ketabahan dan kerelaan mereka menerima
penderitaan ini demi untuk mempertahankan keislamannya. Ketika Ammar
berkata kepada beliau, "Wahai Rasulullah, adzab yang kami derita telah
sampai pada puncaknya…"
Nabi SAW bersabda untuk menentramkan jiwanya, "Sabarlah wahai keluarga
Yasir, tempat yang dijanjikan untuk kalian adalah surga…!"
Ketika Abu Jahal ikut melakukan penyiksaan, ia begitu jengkel dan putus
asa terhadap Sumayyah. Seorang budak wanita yang hina (dalam pandangan
Abu Jahal dan masyarakat Quraisy saat itu) seperti dirinya, berdiri
tegar seakan menantang kesombongan tokoh besar Quraisy tersebut. Karena
tidak tertahankan lagi kejengkelannya, Abu Jahal mengambil tombak dan
menusuk Sumayyah dari selangkangan hingga tembus ke punggungnya, jadilah
ia syahid pertama dalam Islam. Tidak berapa lama, ayahnya, Yasir bin
Amir juga meninggal dalam penyiksaan orang-orang kafir Quraisy.
Kematian orang tuanya akibat siksaan tersebut tidak menyebabkan ia
berubah pikiran, bahkan makin meneguhkan pendiriannya. Siksaan pun makin ditingkatkan, dibakar dengan besi panas, disalib, ditenggelamkan dalam air hingga ia sesak nafas, dan lain-lainnya. Suatu ketika Ammar dibakar dengan api yang membara, kebetulan saat itu Nabi SAW datang
mengunjunginya. Beliau memegang kepala Ammar dan berkata, "Hai api,
jadilah kamu sejuk dan selamatkanlah Ammar, sebagaimana dulu kamu
menjadi sejuk dan menyelamatkan bagi Ibrahim…!!"
Seketika itu Ammar tidak lagi merasakan panasnya api yang menerpa
tubuhnya, maka makin kokoh dan tegar saja jiwanya dalam keimanan dan
keislaman, walau adzab dan siksaan kaum Quraisy makin ditingkatkan.
Suatu ketika Ammar disiksa sedemikian rupa sehingga hampir tak sadarkan
diri, dalam keadaan seperti itu ada yang menuntun ucapannya untuk
memuja-muja berhala kaum Quraisy, dan tanpa disadarinya ia mengikuti
ucapan-ucapan tersebut. Saat ia menyadari semuanya itu, ia menangis
sejadi-jadinya, seolah-olah dunia kiamat baginya, dan siksaan demi
siksaan pun tak lagi terasa berat baginya. Jauh lebih berat kedukaan dan
ketakutannya karena telah mengucapkan kata-kata yang bisa mencabut
imannya, menyengsarakan kehidupannya di akhirat kelak.
Dalam puncak kesedihan yang serasa tidak tertahankan, datanglah
Rasulullah SAW. Beliau memang telah mendengar berita tentang apa yang
diucapkan oleh Ammar, dan atas peristiwa tersebut, turunlah surah An
Nahl ayat 106. Beliau datang sendiri menemui Ammar, dengan penuh santun
dan kasih beliau menghibur dan menenangkannya sambil menyampaikan firman
Allah SWT tersebut. Beliau berkata kepada Ammar, "Orang-orang kafir
menyiksa dan menenggelamkanmu sehingga engkau mengatakan begini dan
begini…"
"Benar, ya Rasulullah," Kata Ammar sambil meratap penuh kesedihan.
"Tidak mengapa, jika mereka memaksamu, katakanlah seperti itu…
sesungguhnya Allah SWT telah menurunkan ayat : … kecuali orang-orang
yang dipaksa, sedang hatinya tetap teguh dalam keimanan..."
Hati Ammar menjadi tentram dengan penjelasan Nabi SAW tersebut.
Hati Ammar menjadi tentram dengan penjelasan Nabi SAW tersebut.
Begitu tegar dan kokohnya Ammar mempertahankan imannya, walau cobaan dan
siksaan terus dialaminya, sehingga Nabi SAW sangat sayang kepadanya.
Beliau bersabda tentang dirinya, "Diri Ammar dipenuhi oleh keimanan sampai ke tulang sum-sumnya…"
Pernah terjadi selisih faham antara Ammar dan Khalid bin Walid, pahlawan
Islam yang digelari Nabi SAW " Pedang Allah", maka beliau bersabda,
"Siapa yang memusuhi Ammar, dia akan dimusuhi Allah, dan siapa yang
membenci Ammar, maka dia akan dibenci Allah…"
Untunglah Khalid bin Walid seorang yang cerdas dan berjiwa besar,
mendengar sabda Nabi SAW ini segera ia menemui Ammar dan meminta maaf
atas kekhilafannya. Kedudukannya di masa lalu sebagai salah satu pemuka
kabilahnya dan Ammar hanya sebagai budak, tidak menghalanginya untuk
merendahkan diri dan meminta maaf. Semua itu ringan dilakukannya karena
Khalid lebih menghendaki keridhaan Allah SWT, daripada sekedar
mempertahankan ‘gengsi’ dan prestisenya di masa lalu. Dan Ammar-pun
dengan senang hati memaafkannya.
Pernah juga terjadi salah seorang sahabat menghujat Ammar, karena ia
bekerja (atau kerja bakti ketika membangun Masjid Nabi) sambil
mendendangkan syair, sehingga terjadi perselisihan. Mendengar berita
tersebut, Nabi SAW bersabda, "Apa maksud mereka terhadap Ammar?
Diserunya mereka ke dalam surga, sedang mereka mengajaknya ke dalam
neraka…Sungguh, Ammar adalah biji mataku sendiri..!!"
Tentulah bukan maksud dan keinginan Ammar untuk memperoleh pujian-pujian
tersebut. Bahkan sesungguhnya ia adalah seorang yang pendiam, tidak
banyak bicara. Kontras sekali dengan penampilan fisiknya yang tinggi
besar, berdada bidang dan bermata biru, ia justru lebih sering
menyembunyikan diri dan tidak ingin menonjolkan dirinya sendiri. Ia
telah merasakan bagaimana beratnya mempertahankan iman, karena itu ia
ingin mengisi waktu-waktunya dengan ibadah demi ibadah. Karena itu pula, Nabi SAW pernah pula bersabda tentang dirinya, "Contoh
dan ikutilah setelah kematianku nanti, Abu Bakar dan Umar.., dan
ambillah pula hidayah yang dipakai Ammar untuk jadi bimbingan…"
Ammar tidak pernah absen menerjuni perjuangan dan jihad bersama
Rasulullah SAW, begitu juga perjuangan dengan beberapa khalifah sesudah
beliau wafat. Dalam perang Yamamah, pertempuran melawan pasukan nabi
palsu, Musailamah al Kadzdzab, ketika kaum muslimin
porak-poranda dan ada yang melarikan diri. Ammar berdiri di atas sebuah
batu dan berseru keras, "Wahai kaum muslimin, apakah kalian ingin lari
dari jannah? Aku adalah Ammar bin Yasir, apakah kalian melarikan diri
dari jannah? Marilah bersamaku…"
Saat itu kondisi Ammar sendiri juga terluka, bahkan telinganya hampir
putus dan tergantung terkena sabetan pedang musuh. Mendengar seruan
Ammar tersebut, mereka berkumpul kembali untuk menyusun kekuatan dan
bersama Ammar mereka kembali menahan gempuran pasukan musuh.
Pada masa khalifah Umar, Ammar diangkat sebagai amir (wali negeri) di
Kufah dan wazirnya adalah Abdullah bin Mas'ud. Jabatan tersebut tidaklah
menambah kecuali zuhud, kesalehan dan juga kerendahan hatinya. Ia tak
segan membeli sayur di pasar kemudian memanggulnya sendiri. Dan
sebagaimana yang dilakukan Salman al Farisi, setelah menerima gaji
(tunjangan)-nya sebagai amir, ia membagi-bagikan semuanya kepada fakir
miskin dan orang-orang yang membutuhkan. Untuk menunjang kebutuhan
hidupnya, ia menjalin (membuat) bakul dan keranjang dari daun kurma dan menjualnya ke pasar.
Sepeninggal khalifah Umar bin Khaththab, yang mana Nabi SAW pernah
menyebut Umar sebagai "kunci (gembok) Fitnah", mulai terjadi fitnah dan
perselisihan di antara umat Islam. Dalam keadaan seperti ini, para
sahabat selalu mengamati Ammar bin Yasir. Hal ini berawal dari sebuah
peristiwa di masa awal hijrah ke Madinah, ketika sedang membangun Masjid
Nabawi. Saat itu, sisi dinding di mana Ammar dan beberapa sahabat
lainnya sedang bekerja tiba-tiba runtuh dan menimpa Ammar. Pada saat
yang sama, Nabi SAW sedang mengamati Ammar, kemudian beliau bersabda,
"Aduhai ibnu Sumayyah, ia dibunuh oleh golongan pendurhaka…"
Para sahabat yang mendengar sabda
beliau itu menyangka beliau sedang meratapi kematian Ammar karena
tertimbun dinding yang runtuh. Karena itu mereka menjadi ribut dan panik
atas musibah yang dialami Ammar. Nabi SAW yang tanggap reaksi para
sahabat tersebut, sekali lagi bersabda untuk menenangkan mereka, "Tidak
apa-apa, Ammar tidak apa-apa…hanya saja, nantinya ia akan dibunuh oleh
golongan pendurhaka!!"
Jelas dan lugas, Nabi SAW tidak menyebut, "Ammar dibunuh kaum kafirin,
musyrikin atau musuh Allah." Tetapi beliau menyebutnya, "Kaum/golongan
pendurhaka (fi-atul baaghiyah)," masih kaum muslimin, tetapi mereka yang
durhaka dan menyalahi ajaran Islam. Seperti halnya anak yang durhaka
kepada orangtuanya, ia tidak menjadi kafir, tetapi berdosa besar dan
terancam laknat Allah, kecuali jika Allah mengampuninya.
Fitnah makin memuncak ketika khalifah Utsman terbunuh. Para
sahabat utama Nabi SAW yang masih hidup dan mayoritas umat Islam
lainnya memba'iat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah pengganti Utsman
bin Affan. Tetapi Muawiyah dan masyarakat Syam pada umumnya menolak
untuk memba'iat Ali, bahkan ia yang sebelumnya hanya gubernur yang
membawahi wilayah Syam, mengangkat dirinya sendiri sebagai khalifah
menggantikan khalifah Utsman, yang memang masih kerabat dekatnya.
Dengan dalih menuntut balas kematian Utsman bin Affan, Muawiyah
menggalang dukungan untuk mengukuhkan jabatannya tersebut. Dalam situasi
konflik seperti ini, beberapa sahabat sempat mendukung Muawiyah,
sebagian besar lainnya mendukung Ali bin Abi Thalib, dan ada juga
sekelompok kecil sahabat yang abstain, tidak memihak keduanya, dan tidak
ingin terjatuh pada perselisihan tersebut.
Ketika berbagai upaya damai yang dilakukan Ali bin Thalib gagal, tidak
terelakkan lagi terjadinya bentrok senjata, yang terkenal dengan nama
perang Shiffin. Dan Ammar bin Yasir, dengan segala ijtihad dan
pengenalannya akan kebenaran, memilih untuk berdiri di pihak Ali bin Abi
Thalib. Dengan pilihannya tersebut, para sahabat yang mendukung Ali bin
Abi Thalib merasa tenang tentram, karena mereka meyakini sabda Nabi
SAW, bahwa bersama Ammar bin Yasir, mereka berada pada pilihan yang
benar. Sementara sahabat yang berdiri di fihak Muawiyah merasa was-was
dan penuh keraguan.
Setelah berperang beberapa lama dalam perang Shiffin, ia menemui Ali bin
Abi Thalib dan berkata, "Wahai Amirul Mukminin, pada hari ini, dan
itukah?"
Yang dimaksud oleh Ammar adalah tentang sabda Nabi SAW : "Aduhai Ibnu Sumayyah, ia akan dibunuh oleh golongan pendurhaka".
Menanggapi pertanyaan tersebut, Ali dengan bijak berkata, "Tinggalkanlah urusan tersebut…"
Tetapi Ammar mengulang pernyataannya, dan Ali memberi jawaban yang sama
pula sampai tiga kali. Kemudian Ali memberi minuman susu kepada Ammar,
susu kental yang dicampur sedikit air. Setelah minum susu tersebut ia
berkata, "Sesungguhnya Rasulullah SAW telah bersabda kepadaku bahwa
seperti inilah minuman terakhir yang aku minum di dunia."
Ali jadi terkejut, ia tidak tahu menahu sabda Nabi SAW
tentang minuman terakhir Ammar, dan tidak juga menjadi "Rahasia Umum"
seperti tentang siapa pembunuh Ammar. Mungkin itu menjadi rahasia
pribadi Ammar dan Rasulullah SAW semata. Dan jalannya takdir Allah
memang tidak bisa dihalangi lagi jika telah tiba waktunya.
Setelah itu Ammar terjun
kembali dalam pertempuran. Di tengah pertempuran tersebut, Ibrahim bin
Abdurrahman bin Auf sempat mendengar seruan Ammar, "Sesungguhnya aku
telah bertemu dengan Al Jabbar (yakni, Allah SWT), dan aku telah
dinikahkan dengan bidadari. Pada hari ini aku akan bertemu dengan
kekasihku, Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Beliau telah berjanji
kepadaku, bahwa akhir bekalku di dunia ini adalah susu kental yang
dicampur dengan sedikit air…."
Memang, setelah itu Ammar tidak minum atau makan apapun lagi dan ia terjun ke medan
pertempuran. Saat itu Ammar berjuang bersebelahan dengan Hasyim bin
Utbah yang membawa bendera, dan akhirnya mereka menemui syahidnya
bersama.
Redaksi ISBAD
Tidak ada komentar:
Posting Komentar