Walaupun kemuliaan dan pujian langsung diberikan oleh
Rasulullah SAW, tetapi Abu Bakar tidak secara otomatis merasa selamat di
akhirat kelak, bahkan ia selalu merasa khawatir dengan nasibnya di
hadapan Allah SWT. Sering sekali ia melontarkan ungkapan yang
menunjukkan kegundahan hatinya, “Alangkah baiknya jika aku ini sebatang
pohon, yang kemudian ditebang dan dijadikan kayu bakar.”
“Alangkah baiknya jika aku ini sebatang rumput, yang akan habis begitu saja dimakan ternak.”
Ketika sedang berada di suatu kebun dan melihat seekor burung yang
sedang berkicau, dia berkata, “Wahai burung, sungguh beruntungnya
engkau, engkau makan, minum dan terbang di antara pepohonan penuh
kebebasan tanpa perasaan takut akan hari kiamat, andai Abu Bakar menjadi
seperti engkau, wahai burung.”
Suatu saat Aisyah RA melihat keadaan ayahnya, Abu Bakar yang saat itu
menjabat sebagai khalifah, dalam keadaan sangat gelisah, seperti ada
beban amat berat yang ditanggungnya, karena itu ia bertanya, “Wahai
ayahku, apakah engkau tengah menghadapi suatu kesusahan?”
Abu Bakar hanya memandang putrinya tanpa memberikan jawaban. Keesokan
harinya, ia memanggil putrinya itu dan berkata, “Wahai Aisyah, bawalah
padaku buku catatan tentang sikap, perbuatan, dan ucapan Nabi SAW
(Hadits) yang telah kuberikan kepadamu dulu!”
Abu Bakar memang telah menghimpun tentang sikap, perbuatan dan ucapan
Nabi SAW (yang di kemudian hari disebut al Hadits), baik dari yang
dilihat dan dialaminya sendiri bersama Nabi SAW, atau dari
sahabat-sahabat lainnya, dan menuliskannya dalam suatu buku catatan,
sejumlah 500 riwayat. Buku catatan tersebut diberikan kepada putrinya
untuk disimpan.
Aisyah datang dengan membawa buku catatan tersebut. Setelah buku itu
diserahkan, Abu Bakar segera membakarnya, dan berkata, “Wahai Aisyah,
buku yang kubakar tersebut mengandung banyak riwayat tentang Nabi SAW,
yang kukumpulkan dan kuperoleh dari orang-orang yang berbeda. Aku
khawatir, jika aku telah meninggal kelak, aku meninggalkan sebuah
riwayat yang kuanggap benar, padahal sebenarnya tidak, dan aku harus
menanggung akibatnya.”
Mungkin suatu kehati-hatian yang berlebihan, karena Abu Bakar adalah
sahabat Nabi SAW yang paling dekat, bahkan sejak beliau belum diangkat
menjadi Rasul, tentunya ia sangat tahu tentang beliau. Apalagi sewaktu
Nabi SAW masih hidup ia diberi tugas untuk berfatwa atau menjawab atas
masalah umat, seperti halnya Umar, Utsman, Ali, Abdurrahman bin Auf,
Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Mas’ud, Muadz bin Jabal, Abu Musa al
Asy’ari dan Abu Darda’.
Tetapi justru inilah salah satu wujud tingginya
nilai keimanan Abu Bakar yang dipuji oleh Nabi SAW.
Sumber :
Jalan Sirah
Redaksi ISBAD
Tidak ada komentar:
Posting Komentar