" IKATAN SILATURAHMI BAHAGIA DUA, KREO SELATAN "

Kamis, 29 Oktober 2015

Nama-nama Mekah di Dalam Al-Qur'an

Mekah memiliki beberapa nama. Dan nama-nama tersebut telah disebutkan di dalam Alquran. Nama Mekah sendiri disebutkan dalam surat al-Fath:

وَهُوَ الَّذِي كَفَّ أَيْدِيَهُمْ عَنْكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ عَنْهُمْ بِبَطْنِ مَكَّةَ مِنْ بَعْدِ أَنْ أَظْفَرَكُمْ عَلَيْهِمْ ۚ وَكَانَ اللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرًا
“Dan Dialah yang menahan tangan mereka dari (membinasakan) kamu dan (menahan) tangan kamu dari (membinasakan) mereka di tengah kota Mekah sesudah Allah memenangkan kamu atas mereka, dan adalah Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS:Al-Fat-h | Ayat: 24).

Dalam surat al-Balad, Allah ﷻ berfirman,

لَا أُقْسِمُ بِهَٰذَا الْبَلَدِ
“Aku benar-benar bersumpah dengan al-Balad (Mekah).” (QS:Al-Balad | Ayat: 1).

Dinamakan Balad karena ia berada di tengah negeri.
Nama lainnya terdapat dalam surat al-Isra, kota ini dinamakan Masjid al-Haram. Allah ﷻ berfirman,

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha…” (QS:Al-Israa’ | Ayat: 1).

Pada malam isra mi’raj Rasulullah ﷺ bermalam di rumah Ummu Hani binti Abi Thalib. Kemudian dari sanalah beliau berangkat. Dari peristiwa ini, tanah haram Mekah disebut Masjid al-Haram. Meskipun ada ulama lain yang mengatakan bahwa beliau benar-benar berangkat isra dari Masjid al-Haram menuju Masjid al-Aqsha. Allahu a’lam.

Nama lain Mekah adalah Bakah. Sebagaimana tersebut di dalam surat Ali Imran.

إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكاً
“Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah…” (QS:Ali Imran | Ayat: 96).

Disebut dengan Bakah karena ia telah membuat tunduk orang-orang yang sombong.
Mekah juga dinamakan Ummul Qura. Sebagaiman dijelaskan dalam surat al-An’am. Allah ﷻ berfirman,

وَهَٰذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ مُصَدِّقُ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَلِتُنْذِرَ أُمَّ الْقُرَىٰ وَمَنْ حَوْلَهَا ۚ
“Dan ini (Alquran) adalah kitab yang telah Kami turunkan yang diberkahi; membenarkan kitab-kitab yang (diturunkan) sebelumnya dan agar kamu memberi peringatan kepada (penduduk) Ummul Qura (Mekah) dan orang-orang yang di luar lingkungannya…” (QS:Al-An’am | Ayat: 92).

Disebut Ummul Qura, karena kedudukan Mekah lebih mulia dan lebih agung dibanding kota-kota atau daerah-daerah lainnya. Di dalamnya terdapat Baitullah.

Mekah juga disebut dengan Ma’ad. Seperti termaktub dalam surat al-Qashash. Allah ﷻ berfirman,

إِنَّ الَّذِي فَرَضَ عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لَرَادُّكَ إِلَىٰ مَعَادٍ ۚ
“Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Alquran, benar-benar akan mengembalikan kamu ke Ma’ad (tempat kembali)…” (QS:Al-Qashash | Ayat: 85).

Kata Ma’ad dalam ayat ini memiliki beberapa tafsiran. Di antara tafsirannya adalah ayat ini memberikan kabar gembira bahwasanya Rasulullah ﷺ akan kembali ke Mekah dengan menaklukkannya. Sebagaimana dijelaskan oleh Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya. Karena kata Ma’ad maknanya adalah tanah kelahiran. Dan tanah kelahiran Nabi ﷺ adalah Mekah.
Mekah juga dinamakan dengan Balad al-Amin (negeri yang aman). Disebut demikian karena di Mekah diharamkan peperangan dan Dajal tidak bisa memasukinya. Nama ini tersebut dalam surat at-Tin:

وَهَٰذَا الْبَلَدِ الْأَمِينِ
“Dan demi kota (Mekah) ini yang aman.” (QS:At-Tiin | Ayat: 3).

Dengan demikian di antara nama atau sebutan untuk Kota Mekah adalah:
  1. Mekah,
  2. Al-Balad,
  3. Masjid al-Haram,
  4. Bakah,
  5. Ummul Qura,
  6. Ma’ad,
  7. Balad al-Amin.
Banyaknya nama menunjukkan kemuliaannya. Karena nama-nama tersebut memiliki arti dan sifat yang dimilikinya.

Daftar Pustaka:
http://lite.islamstory.com
http://quran.ksu.edu.sa/tafseer

www.KisahMuslim.com

Minggu, 25 Oktober 2015

Masya Allah, Inilah yang Dialami Seorang Ibu ketika Melahirkan


bayi
Ubadah ibn Shamit ra meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bertanya, 
“Siapa yang kalian anggap sebagai syahid?” Mereka menjawab, “Yang berperang hingga terbunuh di jalan Allah Swt.” Mendengar jawaban tersebut beliau bersabda, “Kalau begitu orang yang syahid di antara umatku sedikit. Namun, orang yang terbunuh di jalan Allah syahid, orang yang mati karena penyakit di perut syahid, orang yang kena wabah penyakit syahid, wanita yang meninggal dunia sementara dalam perutnya terdapat janin juga syahid (entah sebelum atau sesudah melahirkan).” (HR Imam Ahmad, Ibn Majah, dan Ibn Hibban).

Betapa luar biasanya Islam memosisikan seorang ibu hamil. Bisa dipahami tentu saja. Saat seorang ibu hamil tubuhnya menjadi rentan akan ‘bahaya’. Berat tubuhnya menjadi dua kali lipat, karena memebawa kita di dalam rahimnya. Hal itu berlangsung kurang lebih selama sembilan bulan. Kecintaannya kepada kita telah dicurahkannya sejak saat itu, ia selalu mendahulukan keselamatan bayinya daripada dirinya sendiri. Ia tidak pedulikan berat beban tubuhnya yang bertambah karena kehdiran kita di rahimnya.

Saat melahirkan pun menjadi waktu yang dinantikan oleh seorang ibu. Saat dimana ia dapat melihat buah hatinya setelah selama kurang lebih sembilan bulan mengandungnya. Namun saat-saat ini juga merupakan saat-saat yang paling beresiko tinggi dalam hidupnya. Karena melahirkan rentan sekali dengan kematian. Tak sedikit ibu yang rela mengorbankan nyawanya demi lahirnya sang buah hati.

Pada saat proses melahirkan, ibu juga tidak sepenuhnya mengerti apa yang menyebabkan proses melahirkan terjadi. Akan tetapi perubahan kadar hormon memengaruhi pelunakan dan persiapan cervix (leher rahim) dan kontraksi. Kontraksi-kontraksi yang terjadi sebelum persalinan semakin kuat dan semakin teratur.

Uterus wanita sesungguhnya terbentuk dari lapisan otot yang sebagian mengitari uterus (rahim) dan sebagian lainnya naik dan turun di dalam uterus. Kontraksi dari otot-otot tersebut menarik cervix dan membantunya membuka dan mendorong bayi untuk bergerak turun.

Tekanan dari kepala bayi melawan cervix selama kotraksi juga membantu menipiskan dan membuka cervix. Untuk memberikan Anda gambaran terhadap proses ini, cobalah untuk membayangkan saat Anda mengenakan kaos turtleneck (yang menyerupai leher kura-kura). Leher dari kaos tersebut cukup tebal tapi lebih kecil daripada kaos itu sendiri, akan tetapi ketika Anda memasukan kepala Anda untuk melewatinya, ujung leher pada kaos tersebut menjadi melar dan kemudian terbuka.

Pada awal proses persalinan, kontraksi-kontraksi yang terjadi secara bertahap semakin sering dan kuat. Jika bidan atau dokter Anda memeriksa cervix Anda, Anda mungkin akan mengetahui bagaimana cervix Anda mengalami perubahan.

Pembukaan dan pengelupasan yang lambat mungkin terjadi selama fase ini, namun hal tersebut adalah normal. Kebanyakan perempuan memilih untuk menghabiskan masa awal proses persalinan di rumah karena mereka merasa lebih leluasa untuk bergerak, mandi, makan, atau menonton TV.

Kebanyakan dokter dan bidan juga menyetujui hal itu. Fase awal persalinan merupakan fase yang sulit untuk diprediksi. Beberapa perempuan mungkin tidak menyadarinya, sedangkan yang lain mungkin mengalami rasa sakit dalam jangka waktu yang lama.

Selama proses persalinan, kontraksi semakin kuat dan teratur. Kontraksi biasanya terjadi setiap tiga atau lima menit. Anda akan menyadari bahwa Anda perlu mengkonsentrasikan diri Anda pada setiap kontraksi. Cervix Anda akan mulai berubah dengan cepat dan hal ini mempermudah Anda untuk memprediksi jangka waktu kapan fase ini akan berakhir.

Beberapa peneliti memperkirakan jangka waktu yang diperlukan oleh perempuan yang baru pertama melahirkan adalah antara lima sampai sepuluh jam, sedangkan untuk perempuan yang sudah pernah melahirkan adalah antara dua sampai delapan jam. Subhanallah.

Sumber : Islampos
               Redaksi ISBAD

Nama Suami Tidak Boleh Disematkan pada Nama Istri?


pengantin suami istri
Ilustrasi Gambar

Banyak wanita muslimah setelah menikah, lalu menisbatkan namanya dengan nama suaminya. Misalkan: Maryani menikah dengan Amiruddin, kemudian sang istri memakai nama suaminya sehingga namanya menjadi Maryani Amiruddin.

Bagaimana hukum Islam mengenai perihal penamaan ini?

Dalam ajaran Islam, hukum penamaan adalah hal yang penting. Setiap pria ataupun perempuan hanya diperbolehkan menambahkan “nama ayahnya” saja di belakang nama dirinya dan mengharamkan menambahkan nama lelaki lain selain ayahnya di belakang namanya.

Meskipun nama tersebut adalah nama suaminya. Karena dalam Islam, nama lelaki di belakang nama seseorang berarti keturunan atau anak dari lelaki tersebut.

Sehingga, tempat tersebut hanya boleh untuk tempat nama ayah kandungnya sebagai penghormatan anak terhadap orang tua kandungnya.

Berbeda dengan budaya barat, seperti istrinya Bill Clinton: Hillary Clinton yang nama aslinya Hillary Diane Rodham; istrinya Barrack Obama: Michelle Obama yang nama aslinya Michelle LaVaughn Robinson, dan lain-lain.

Hadist mengenai perihal penamaan ini sangat shahih. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Barang siapa yang mengaku sebagai anak kepada selain bapaknya atau menisbatkan dirinya kepada yang bukan walinya, maka baginya laknat Allah, malaikat, dan segenap manusia. Pada hari Kiamat nanti, Allah tidak akan menerima darinya ibadah yang wajib maupun yang sunnah,” (HR. Muslim dlm al-Hajj (3327) dan Tirmidzi).

Sumber : Islampos
               Redaksi ISBAD 

Sederhananya Fatimah, Istri Khalifah Umar bin Abdul Aziz



bunga tanganKetika mendengar suaminya menjadi khafilah baru, Fatimah sangat terkejut. Namun ia lebih terkejut ketika tahu kalau suaminya itu dikabarkan menolak segala fasilitas istana.

Umar bin Abdul Aziz memilih menunggang keledai untuk kendaraan sehari-hari, membatalkan acara pelantikan dirinya sebagai khalifah yang akan diadakan besar-besaran dan penuh kemewahan.

Sungguh Fatimah heran dan tidak percaya mendengar berita tersebut karena ia sangat mengenal siapa suaminya. Sosok yang sangat identik dengan kemewahan hidup mengapa secara tiba-tiba ia hendak berpaling dari kemewahan, padahal tampuk kekuasaan kaum muslimin baru saja di anugerahkan kepadanya?

Keterkejutannya semakin bertambah tatkala melihat suaminya pulang dari dari kota Damaskus, tempat ia dilantik sebagai khalifah umat islam. Suaminya terlihat lebih tua tiga tahun dibandungkan tiga hari yang lalu tatkala ia berangkat ke kota Damaskus. Wajahnya terlihat sangat letih, tubuhnya gemetaran dan layu karena menanggung beban yang teramat berat.

Dengan suara lirih Umar bin Abdul Aziz berkata dengan lembut dan penuh kasih-sayang kepada sang isteri tercinta, “Fatimah, isteriku…! Bukankah engkau telah tahu apa yang menimpaku? Beban yang teramat dipikulkan kepundakku, menjadi nakhoda bahtera yang dipenuhi, ditumpangi oleh umat Muhammad SAW. Tugas ini benar-benar menyita waktuku hingga hakku  terhadapmu akan terabaikan. Aku khawatir kelak engkau akan meninggalkanku apabila aku akan menjalani hidupku yang baru, padahal aku tidak ingin berpisah denganmu hingga ajal menjemputku.”

“Lalu, apa yang akan engkau lakukan sekarang?” tanya Fatimah.
“Fatimah…! Engkau tahu bukan, bahwa semua harta, fasilitas yang ada ditangan kita berasal dari umat Islam, aku ingin mengembalikan harta tersebut ke baitul mal, tanpa tersisa sedikitpun kecuali sebidang tanah yang kubeli dari hasil gajiku sebagai pegawai, disebidang tanah itu kelak akan kita bangun tempat berteduh kita dan aku hidup dari sebidang tanah tersebut. Maka jika engkau tidak sanggup dan tidak sabar terhadap rencana perjalanan hidupku yang akan penuh kekurangan dan penderitaan maka berterus-teranglah, dan sebaiknya engkau kembali ke orang tuamu!” jawab Umar bin Abdul Aziz.

Fatimah kembali bertanya,”Ya suamiku…apa yang sebenarnya membuat engkau berubah sedemikian rupa?”
“Aku memiliki jiwa yang tidak pernah puas, setiap yang kuinginkan selalu dapat kucapai, tetapi aku menginginkan sesuatu yang lebih baik lagi yang tidak ternilai dengan apapun juga yakni surga, surga adalah impian terakhirku,” jawab Umar bin Abdul Aziz lagi.

Aneh. Fatimah yang notabene merupakan wanita yang terbiasa hidup mewah, dengan fasilitas yang disediakan dan pelayanan yang super maksimal, tidak kecewa mendengar keputusan suaminya ia. Ia tidak menunjukan kekesalan dan keputus asaan. Justeru dengan suara yang tegar, mantap ia menegaskan, “Suamiku…! Lakukanlah yang menjadi keinginanmu dan aku akan setia disisimu baik dikala susah atau senang hinga maut memisahkan kita.”

Fatimah merupakan satu-satunya anak perempuan dari lima bersaudara putra khalifah daulah Abbasyiah yang bernama Abdul Malik bin Marwan. Layaknya putri raja, fatimah pun mendapatkan kehormatan dan segala fasilitas yang mewah, hidup dengan penuh kasih sayang dan dimanja oleh kedua orang tuanya dan saudara-saudaranya. Kebahagiannya menjadi sempurna dengan dipersunting oleh seorang lelaki yang terbaik pada zamannya, dari keluarga yang terhormat yang bernama Umar bin Abdul Aziz, yang hidup penuh dengan keglamoran dan kemewahan meskipun demikian ia merupakan sosok yang relegius dan sangat amanah.

Fatimah yang agung itu menjadi pendukung pertama gerakan perubahan yang akan dilakukan oleh suaminya yakni gerakan kesederhanan para pemimpin dalam kehidupan, demi bakti dan keridaan sang suami yang tercinta. Ia rela meninggalkan kemewahan hidup yang selama ini dinikmatinya, semuanya dilakukan dengan penuh kesadaran, keikhlasan atas pondasi keimanan yang kuat.

Di rumahnya yang baru, Fatimah hidup dengan penuh kesederhanaan. Pakaian yang dikenakan, makanan yang disantap tanpa ada kemewahan dan kelezatan semuanya tidak jauh dengan rakyat biasa padahal status yang mereka sandang adalah raja dan ratu seluruh umat Islam masa itu.

Begitu sederhananya konsep kehidupan yang mereka terapkan, orang yang belum mengenal tidak menyangka bahwa mereka adalah pasangan penguasa umat islam kala itu. Diceritakan, suatu hari datanglah wanita Mesir untuk menemui khalifah di rumahnya. Sesampai di rumah yang ditunjukkan, ia melihat seorang wanita yang cantik dengan pakaian yang sederhana sedang memperhatikan seseorang yang sedang memperbaiki pagar rumah yang  dalam kondisi rusak.

Setelah berkenalan si wanita Mesir baru sadar bahwa wanita tersebut adalah Fatimah, isteri sang Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz. Tamu itu pun menanyakan sesuatu hal, “Ya Sayyidati…, mengapa engkau tidak menutup auratmu dari orang yang sedang memperbaiki pagar rumah engkau?” Seraya tersenyum Fatimah menjawab, “Dia adalah amirul mukminin Umar bin Abdul Aziz yang sedang engkau cari.

sumber : Islampos
              Redaksi ISBAD

Gerakan Tawwabin, Ketika Syiah Menyesali Pengkhiantan Mereka di Karbala


Ketika Yazid bin Muawiyah wafat pada tahun 64 H, terjadilah kekosongan kepemimpinan. Keadaan pun kacau. Stabilitas negara Islam tengah goyah berhadapan dengan fitnah. Di Hijaz Abdullah bin az-Zubair radhiallahu ‘anhu mengumumkan kekhalifahannya. Dan di Kufah, ada Jaisy at-Tawwabin yang menuntut balas atas syahidnya cucu Rasulullah ﷺ di Karbala.

Gerakan Tawwabin
Kata tawwabin artinya adalah orang-orang yang bertaubat. Mengapa orang-orang yang tergabung dalam gerakan ini menamakan gerakan mereka gerakan tawwabin? Karena mereka menyesal atas pengkhianatan mereka terhadap Husein di Karbala. Mereka menyesal telah mengundangnya ke Kufah, lalu meninggalkannya hingga syahid di sana. Mereka hendak menebus kesalahan tersebut dengan mengobarkan semangat menuntut balas atas kematian cucu Rasulullah ﷺ.

Syaikh Utsman al-Khomis dalam ceramahnya Haqiqatu asy-Syiah menyebutkan bahwa Gerakan at-Tawwabin adalah gerakan yang menghidupkan kembali dakwah Abdullah bin Saba dari beberapa sisi. Ketika Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu menghukum orang-orang yang berlebihan terhadapnya, nyaris dakwah Abdullah bin Saba menghilang. Hingga muncullah Gerakan at-Tawwabin yang disengaja atau tidak menghidupkan kembali dakwah pengagungan Ali bin Abi Thalib dan keturunannya. Menurut Syaikh Utsman, sejak muncul pemikiran Abdullah bin Saba di akhir kekhalifahan Utsman bin Affan hingga munculnya Gerakan Tawwabin, kelompok ini belum dikenal dengan nama kelompok Syiah. Syiah sebagai sebuah sekte baru dikenal pada abad ke-3 H.

Setelah sepakat menuntut balas atas kematian Husein radhiallahu ‘anhu, orang-orang yang tergabung dalam Gerakan Tawwabin mengadakan rapat perdana. Dipimpin oleh Sulaiman bin Shard al-Khuza’i. Agenda rapat adalah menentukan sikap, teknis operasi perlawanan yang akan dilancarkan, dan pembahasan utama dalam pertemuan ini adalah permasalahan taubat dan ampunan. Setelah itu mereka mulai menjadikan simpatisan sipil ini menjadi sebuah pasukan. Jadilah mereka Jaisy at-Tawwabin. Kemudian 4000 personil Jaisy at-Tawwabin pun mulai bergerak. Operasi tersebut dimulai pada bulan Rabiul Awal tahun 65 H.

Pertama-tama mereka mendatangi makam Husein. Mereka menangis, menyatakan taubat, dan menyesali perbuatan mereka. Setelah berkabung selama 1 hari penuh, mereka membulatkan tekad untuk berangkat ke Syam, memerangi Ubaidullah bin Ziyad sebgai orang yang paling bertanggung jawab atas terbunuhnya Husein. Mereka melintasi Sungai Eufrat. Menyusuri sungai tersebut. Hingga tiba di daerah Circesium, di Suriah (al-Kamil fi at-Tarikh, 2/638).

Mereka disambut oleh pimpinan wilayah Circesium, Zafar bin al-Harits al-Kilabi, yang mendukung kekhalifahan Abdullah bin az-Zubair. Zafar menyarankan agar mereka mengajak simpatisan Ibnu az-Zubair bersekutu dalam misi mereka. Namun usulan tersebut mereka tolak. Perjalanan pembalasan dendam pun dilanjutkan (Tarikh ad-Daulah al-Umawiyah, Hal 72 dan al-Kamil fi at-Tarikh, 2/639).

Perang Ainul Wardah Tahun 65 H
Bertemulah orang-orang Syiah ini dengan pasukan bani Umayyah di Ainul Wardah. Sebuah daerah yang terletak di Jazirah hingga mencapai bagian barat laut Shiffin. Peperangan berjalan tidak seimbang, pasukan Umayyah dengan mudah melibas Jaisy at-Tawwabin yang jumlahnya tidak mengimbangi mereka. Tokoh-tokoh mereka pun tewas kecuali Rifa’ah bin Syaddad yang berhasil pulang ke Kufah bersama sebagian kecil dari mereka (Tarikh ad-Daulah al-Umawiyah, Hal 72).

Penutup
Dari beberapa keterangan, Jaisy at-Tawwabin ini bukanlah seperti orang-orang Syiah yang kita kenal pada hari ini –al-Ilmu ‘Indallah-. Peristiwa ini terjadi pada abad pertama hijriyah, yakni pada tahun 65 H. Kemudian menurut penjelasan Syaikh Utsman al-Khomis Syiah menjadi sebuah sekte muncul pada abad ke-3 H. Saat itu orang-orang baru mengenal ini Syiah dan ini Sunni. Ini Huseiniyat (tempat ibadah) Syiah dan ini masjid-masjid Sunni. Ini kitab-kitab Syiah dan ini kitab-kita Sunni. Ini ulama-ulama Syiah dan ini ulama-ulama Sunni. Adapun sebelum zaman ini, belum dikenal istilah demikian.

Adz-Dzahabi mengomentari Sulaiman bin Shard pemimpin Jaisy at-Tawwabin dengan mengatakan, “Dia adalah seorang yang shaleh dan ahli ibadah. Ia tergabung dalam pasukan taubat kepada Allah dari pengkhianatan yang mereka lakukan terhadap Husein asy-syahid. Mereka berangkat menuntut hukum terhadap pembunuh Husein. Mereka menamakan diri dengan Jaisy at-Tawwabin.” (Siyar Alamin Nubala, 3/395).

Imam Ibnu Katsir mengomentari Jaisy at-Tawwabin dengan mengatakan, “Sekiranya tekad dan persekutuan ini ada sebelum Husein tiba di Karbala, niscaya hal ini bermanfaat untuk Husein dan mampu menolongnya. Daripada mereka berkumpul dan baru menyatakan pembelaan terhadapnya setelah 4 tahun (peristiwa Karbala).” (al-Bidayah wa an-Nihayah, 11/697).

Apa yang dinyatakan oleh Imam Ibnu Katsir juga menjadi pertanyaan bagi kita. Dimana keberanian dan keikhlasan mereka menolong Husein, saat peristiwa itu terjadi? Di saat cucu Rasulullah ﷺ berhadapan dengan maut?

Sumber:
http://islamstory.com


Redaksi ISBAD

Apakah Yazid bin Muawiyah Terlibat Dalam Pembunuhan Husein?


Apa yang terjadi di Karbala pada masa pemerintahan Yazid bin Muawiyah adalah sebuah duka dalam catatan sejarah. Terbunuhnya Husein di tanah itu tentu sebuah peristiwa besar yang tidak diinginkan oleh seorang muslim pun. Tidak ada seorang muslim pun yang rela cucu Rasulullah dizalimi, kecuali mereka orang-orang yang keji. Tidak ada seorang muslim pun yang sudi mencelakakannya, kecuali mereka orang-orang yang celaka.

Alur cerita tentang terbunuhnya cucu Rasulullah ﷺ, Husein bin Ali radhiallahu ‘anhuma, telah kita bahas bersama di artikel Syahidnya Husein Radhiallahu ‘anhu di Padang Karbala. Ia dikhianati oleh orang-orang yang mengundangnya ke Kufah. Dan pasukan Ubaidullah bin Ziyad dengan lancang berani membunuhnya. Para Syiah Husein (pendukung Husein) yang mengkhianatinya telah mengakui bahwa mereka telah mengkhianati cucu Rasulullah. Oleh karenanya mereka membuat Jaisy at-Tawwabin untuk menebus kesalahan mereka.

Lalu sebagian penulis sejarah melemparkan kesalahan ini juga kepada Yazid bin Muawiyah karena ia sebagai khalifah saat itu. Bagaimanakah duduk permasalahannya? Mudah-mudahan artikel berikut ini bisa memberikan kita pemetaan tentang permasalahan ini.

Hubungan Kekerabatan Yazid dan Husein
Yazid bin Muawiyah adalah seorang Quraisy dari bani Umayyah. Ia satu kabilah dengan Amirul Mukminin Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu. Hubungan kekerabatannya dengan Husein bin Ali radhiallahu ‘anhuma sangatlah dekat. Berikut nasab keduanya:
  • Yazid bin Muawiyah bin Abu Sufyan bin Harb bin Umayyah bin Abdu asy-Syams bin Abdu Manaf.
  • Husein bin Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdu Manaf.
Keduanya adalah keturunan dari Abdu Manaf. Sementara anak dari Abdu Manaf yakni Abdu asy-Syams dan Hasyim adalah saudara kembar. Dengan demikian hubungan kekerabatan keduanya sangatlah erat. Tidak ada konflik keluarga di antara keduanya. Tokoh-tokoh Ahlul Bait di Madinah seperti: Muhammad al-Hanafiyah dan Ali bin Husein pun setia dengan membaiat Yazid.

Simstem Administrasi Pemerintahan Bani Umayyah

Abdussyafi bin Muhammad Abdul Latif –guru besar sejarah Islam di Universitas Al-Azhar- menjelaskan, “Para khalifah Bani Umayyah memberikan kekuasaan penuh kepada kepala daerah untuk mengatur wilayah mereka dan bekerja sesuai dengan prediksi mereka demi kemaslahatan negara. Kebijakan ini sama sekali berbeda dengan kebijakan Khulafaur Rasyidin. Pada masa Khulafaur Rasyidin, kepemimpinan dibagi-bagi menjadi beberapa bagian; kepemimpinan dalam berperang, politik, dan administratif dibedakan dengan kepemimpinan dalam mengatur keuangan negara. Karena itu, pada masa Khulafaur Rasyidin terdapat waliyyul harb (pemimpin perang), waliyyush shalat (imam shalat), dan wali Baitul Mal (bertugas mengatur keuangan negara) yang disebut dengan waliyyul kharraj; ia bertanggung jawab langsung di hadapan khalifah tentang keuangan dan ia tidak memiliki kekuasaan sama sekali dalam hal politik yang semisal.” (Latif, 2014: 521).

Berikut perbandingan gaya administratif Khulafaur Rasyidin dengan Dinasti Umayyah:
  1. Ciri khas administrasi masa Khulafaur Rasyidin adalah kepemimpinan terpusat (Sentral), dikarenakan situasi dan kondisi menuntut hal tersebut. Karena fase saat itu adalah fase membangun atau mendirikan negara. Oleh karena itu, Khulafaur Rasyidin mengawasi langsung hampir semua masalah yang dihadapi negara.
  2. Adapun ciri administrasi bani Umayyah adalah kepemimpinan tidak terpusat (Disentral). Hal ini diberlakukan ketika daerah kekuasaan sudah sangat luas. Dan jarak ibu kota Damaskus menjadi semakin jauh dengan wilayah-wilayah lainnya.
Sisi positif dari sistem administrasi Dinasti Umayyah adalah keputusan lebih cepat diambil dan rakyat segera mendapatkan solusi dari permasalahan di wilayah-wilayah mereka. Namun kelemahannya adalah control pusat tidak begitu ketat. Karena terkendala jarak yang membuat informasi lambat sampai ke ibu kota.
Dari sini, kita bisa mengetahui mengapa Ubaidullah bin Ziyad berani memutuskan untuk menghadapi Husein dengan mengangkat senjata.

Apakah Yazid Terlibat Pembunuhan Husein?
Yazid tidak pernah memerintahkan pegawainya untuk membunuh Husein. Dan ia juga tidak pernah ridha terhadap pembunuhan tersebut. Justru ia menangisi dan bersedih dengan peristiwa itu.
Sejak jauh hari Yazid berupaya meredam perpecahan. Ketika Husein radhiallahu ‘anhuma pergi dari Madinah menuju Mekah karena menolak baiat kepadanya, Yazid menulis surat kepada Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma –sepupu Rasulullah ﷺ-:

“Aku mengetahui banyak orang Timur (maksudnya Irak) mengiming-iminginya dengan khilafah. Engkau memiliki pengetahuan dan pengalaman tentang mereka. jika memang begitu, maka ia telah memutuskan tali persaudaraan. Engkau adalah pembesar dan orang terpandang di tengah keluargamu. Karena itu, cegahlah ia dari tindakan yang memecah belah umat.”

Ibnu Abbas membalas suratnya:
“Aku sungguh berharap perginya Husein (ke Mekah) bukan untuk hal yang tidak kau sukai. Aku tidak akan bosan memberinya nasihat agar persaudaraan terjaga dan pemberontakan terpadamkan.”
Surat ini dinukilkan oleh Abdussyafi bukunya dari Tahdzib Tarikh Ibnu Asakir.
Salah seorang ulama besar Syiah, Murtadha Muthahhari, mengatakan, “Tidak diragukan lagi bahwa penduduk Kufah adalah pendukung Ali, dan yang membunuh Imam al-Husein adalah pendukungnya sendiri.” Perkataan ini termaktub dalam kitab al-Mahamatul Husainiyah, I,129 (al-Khamis, 2014: 255).

Mengapa Yazid Tidak Mencopot Ibnu Ziyad?
Penduduk Irak memiliki karakteristik yang unik. Mereka mudah sekali melakukan pemberontakan dan memprotes kebijakan pemimpin mereka. Di zaman Umar bin al-Khottob, penduduk Bashrah mengkritik gaya kepemimpinan Gubernur Saad bin Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu hanya lantaran berprasangka buruk kepadanya. Padahal Saad adalah orang terbaik dari kalangan sahabat Nabi ﷺ. Kemudian penduduk Irak juga turut andil dalam pemberontakan yang mengakibatkan terbunuhnya Amirul Mukminin Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu. Demikian juga revolusi yang hendak mereka gulirkan di zaman Yazid.
Karakter penduduk Irak, apabila dipimpin oleh pemimpin bertangan besi, maka mereka akan tunduk. Kalau pemimpinnya santun dan berlemah lembut terhadap mereka, maka mereka memberontak. Sebelum Ubaidullah bin Ziyad, gubernur Kufah adalah sahabat Rasulullah an-Nu’man bin Basyir radhiallahu ‘anhuma. Di saat itulah mereka menyusun rencana pemberontakan.

Alasan inilah yang membuat Yazid tidak mencopot Ubaidullah bin Ziyad. Yazid khawatir kalau Ubaidullah dicopot, emosi dan keinginan penduduk Kufah untuk memberontak akan terealisasi dengan aksi nyata. Dan sejarah telah membuktikan kebenaran keputusan Yazid. Gerakan at-Tawwabin muncul setelah Yazid meninggal kemudian Ibnu Ziyad dicopot dari Kufah.

Meskipun kita mengetahui bahwa sikap Yazid bin Muawiyah tidak sepakat dengan pembunuhan tersebut, bahkan ia mengecam tindakan Ibnu Ziyad dan menangisi kematian Husein. Kemudian ia juga memuliakan keluarga Husein setelah wafatnya. Namun, tanggung jawab Yazid terletak pada perintah yang kurang jelas kepada Ibnu Ziyad. Langkah apa yang harus diambil Ibnu Ziyad untuk mencegah Husein masuk ke Kufah. Sehingga Ibnu Ziyad tidak berani mengangkat senjata terhadap Husein radhiallahu ‘anhu. Allahu a’lam..

Sumber:
– al-Khamis, Utsman bin Muhammad. 2014. Inilah Faktanya. Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafii.
– Latif, Abdussyafi bin Muhammad Abdul. 2014. Bangkit dan Runtuhnya Khalifah Bani Umayyah. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.
– islamstory.com
– Redaksi ISBAD

Jumat, 23 Oktober 2015

Rasul Bacakan Fushshilat dan Semua Orang Kafir Bersujud


wallpaper_camel_desert-800x600

Suatu ketika, Rasulullah keluar di bulan Ramadhan  me­nuju Masjidil Haram. Ketika itu Masjidil Haram dipenuhi oleh sekumpulan orang Quraisy yang banyak jumlahnya. Di antaranya ter­dapat para pemuka dan pembesarnya.

Lalu Rasulullah berdiri di tengah-tengah kum­pulan ini. Kaki Fathimah tidak beran­jak dari tempatnya menyaksikan kebe­ranian ayahnya ber­ada di tengah-tengah sekumpulan besar para musuhnya. Tiba-tiba Fathimah mendengar suara beliau yang keras ketika membaca surah An-Najm. Orang-orang kafir itu sebelumnya tidak pernah mendengar kalam Allah, karena cara mereka yang turun-temurun adalah mengamalkan apa yang dipesan­kan oleh sebagian mereka kepada se­bagian yang lain.

Di antara ucapan mereka adalah sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an yang artinya,
”Janganlah kalian mendengar dengan sungguh-sungguh akan Al-Qur’an ini dan buatlah hiruk pikuk terhadapnya, supaya kalian dapat mengalahkan (mereka),” — (QS Fush­shilat (41): 26).

Ketika Rasulullah mendatangi me­reka secara tiba-tiba dengan membaca surah ini dan mengetuk telinga mereka de­ngan kalam Ilahi yang memukau, me­reka merasa bingung dengan apa yang mereka alami. Maka masing-masing  mereka mendengarkannya dengan baik. Tidak terpikir di benak mereka saat itu sesuatu selainnya, sampai ketika beliau membaca akhir surah ini seolah-olah hati mereka menjadi terbang. Kemudian beliau membaca ayat yang artinya, ”Maka bersujudlah kalian kepada Allah dan sembahlah (Dia).”

Setelah itu beliau sujud, dan tak ada se­orang pun yang dapat menguasai diri­nya sehingga semuanya bersujud.
Fathimah heran menyaksikan hal itu. Sungguh itu suatu pemandangan yang indah yang ia saksikan. Para pemimpin kekafiran dan pembesar-pembesarnya menjadi bingung berhadapan dengan indahnya kebenaran. Penentangan yang ada di dalam hati mereka yang sombong dan suka mengejek itu pun sirna seke­tika. Mereka tidak bisa menahan diri untuk bersujud kepada Allah. Tiba-tiba diri me­reka menjadi kosong dan dingin ketika ter­sentuh oleh arus keyakinan yang tim­bul dari ayat-ayat Al-Qur’an yang mulia.

Kejadian ini merupakan petunjuk bagi setiap muslim bahwa sesungguh­nya ke­kuatan keburukan itu, betapa pun sewe­nang-wenangnya ia dan betapa pun ber­kuasanya ia, tak akan dapat melawan ka­limat-kalimat yang mengan­dung cahaya, dan tiang-tiangnya akan hancur apabila tersentuh oleh rahasia yang tersembunyi dalam kalimat-kalimat Allah ini.

Berita-berita tentang kejadian ini sam­pai pula kepada orang-orang yang hijrah ke Habasyah, tetapi beritanya sama sekali berbeda dengan keadaan yang sebenarnya. Berita yang sampai kepada mereka adalah bahwa kaum Quraisy telah masuk Islam. Maka kembalilah me­reka ke Makkah pada bulan Syawwal tahun itu juga.
Ketika mereka telah berada di dekat Makkah di suatu siang dan mereka mengetahui masalah yang sebenarnya, mereka pun kembali ke Habasyah. Tidak ada yang masuk ke Makkah di antara me­reka kecuali secara sembunyi-sembunyi atau dalam perlindungan seorang musy­rik Quraisy, seperti Al-Walid bin Al-Mughi­rah dan Abu Thalib bin Abdul Muththalib. [pecinta habibana]

Redaksi ISBAD

Ummu Fasyar Tetap Berkebun Kurma

Walaupun tanah Arab adalah tanah yang sering kali kering, tetapi para penduduknya banyak juga yang berkebun. Salah satunya adalah Ummu Fasyar al-Anshariah. Ummu Fasyar al-Anshariah menanam pohon kurma di kebunnya. Tanah yang dipunyainya tidak terlalu luas. Tapi, jika sedang panen kurma, ia biasanya akan mendapatkan hasil panen yang tidak sedikit.

Setiap hari, Ummu Fasyar al-Anshariah menyiram kebun kurmanya. Itu memang karena ia tinggal sendiri. Umurnya pun sudah berangkat senja. Tetapi, wanita itu tetap bersemangat, segar mengerjakan pekerjaan sehari-harinya.

Suatu hari, Rasulullah mendatangi perkebunan Ummu Fasyar al-Anshariah. Alangkah takjubnya beliau ketika melihat hasil kebun yang dikerjakan oleh Ummu Fasyar al-Anshariah. Begitu bagus dan terawatnya kebun itu.

“Assalamu`alaikum, ya Ummu Fasyar,” sapa Rasulullah.

Wanita yang tidak muda itu mendongak. Ketika dilihatnya siapa yang menyapa, betapa gembiranya Fasyar. Hari ini Rasulullah mengunjunginya. Tentunya ada keberkahan yang hadir di tempat ini, begitu pikir Ummu Fasyar al-Anshariah. Maka, ia pun serta merta menjawab, “Wa`alaikumussalam. Senang sekali melihat engkau dapat berkunjung kemari, ya Rasulullah. Adakah suatu hal penting yang ingin kausampaikan kepadaku?”

Rasulullah tersenyum, “Aku hanya ignin menengokmu.”

Ummu Fasyar al-Anshariah semakin merona wajahnya karena gembira. Ia tidak menyangka bahwa Rasulullah masih menyempatkan diri berkunjung ke kediamannya. Padahal, Ummu Fasyar al-Anshariah tahu bahwa pekerjaan Rasulullah sangat banyak. Ia terharu begitu dalam.

“Ya Ummu Fasyar, bagaimana kebunmu sekarang ini?”

“Alhamdulillah, semuanya terurus dengan baik, ya Rasulullah,” jawab Ummu Fasyar al-Anshariah.

“Engkau yang mengurusnya sendirian?” tanya Rasulullah lagi.

“Betul.”

“Dan engkau pula yang mengairinya setiap hari?”

“Aku senang mengerjakannya, ya Rasulullah.”

Rasulullah  mengangguk-anggukkan kepalanya. Kebun itu tidak terlalu luas. Tetapi untuk seorang perempuan, tentunya memerlukan waktu dan tenaga yang tidak sedikit.

“Jika sudah berbuah, biasanya apa yang kaulakukan pada hasil panenmu?” Rasulullah kemudian bertanya lagi setelah memandangi kebun.

Ummu Fasyar al-Anshariah tersenyum. “Ya Rasulullah, aku mempersilahkannya bagi mereka yang ingin mengambilnya.”

“Maksudmu?”

“Jika mereka menginginkan dan membutuhkannya, mereka bisa mengambilnya dari sini kapanpun mereka mau. Berapa banyakpun mereka butuhkan….”

Rasulullah semakin kagum kepada wanita itu. Ummu Fasyar al-Anshariah sendiri tampak senang bahwa Rasulullah ternyata memperhatikan kebun dan apa yang dikrjakannya kepada kebunnya itu.

“Terus, apa yang  kauminta sebagai ganti mereka mengambil kurmamu?”

“Aku tidak meminta apa-apa dari mereka, ya Rasulullah. Aku lakukan ini hanya karena aku ingin bisa mengerjakan sesuatu yang berguna bagi orang lain…”

Mendengar itu, Rasulullah berkata, “Seorang Muslim yang menanam tanaman, muda atau tua umurnya, lalu buahnya atau daunnya dimakan oleh manusia, hewan, burung, atau binatang buas, semuanya adalah sedekah darinya.”

Rasulullah melanjutkan, “Meskipun kiamat sudah mulai terjadi, sedang di tanganmu ada sebatang bibit kurma yang masih sempat kautanam, maka tanamkanlah terus. Pastilah kau akan mendapatkan pahalanya.”

Ummu Fasyar al-Anshariah semakin gembira mendengar semua itu. Ia hanya berusaha tawakal atau pasrah diri kepada Allah swt  yang membuatnya semangat melakukan semua itu adalah jiwa tanpa pamrih, demi kepentingan umum.

Peristiwa itu mungkin tidak pernah terlupa oleh Ummu Fasyar al-Anshariah sepanjang hidupnya. Ia menanam kurma, Rasulullah mengunjunginya dan memberitahukannya sesuatu yang menggembirakan. Semuanya, demi tabungan Ummu Fasyar di hari esok.

Sumber : Islampos
               Redaksi ISBAD

Gubernur Zuhud Itu Menjadi Kuli Di Pasar

pasar islam



Di antara sejumlah peperangan yang paling dahsyat adalah Perang Khandaq. Kala itu kaum Yahudi Madinah melakukan persekongkolan dengan musyrikin Makkah yang terdiri atas berbagai golongan, dan bergabung menjadi satu untuk menghancurkan umat Islam di Madinah.

Blokade dilakukan oleh tentara gabungan itu, didukung dengan sabotase dari dalam oleh orang-orang Yahudi. Umat Madinah sudah mulai dihinggapi kelelahan dan putus asa, kelaparan dan kehilangan semangat, sementara setiap saat tentara musuh bakal menyerbu dengan sengit.

Dalam kekalutan itulah muncul sebuah nama ke permukaan, nama yang tadinya tidak terlalu diperhitungkan milik seorang mualaf muda kelahiran negeri Persia. Ia adalah Salman yang dijuluki al Farisi sesuai tanah tumpah darahnya. Pemuda ini menyarankan agar digali parit panjang dan dalam melingkari kota Madinah.

Rasulullah menyambut gagasan itu dengan gembira. Dan itulah awal kebangkitan semangat umat Islam untuk mempertahankan kedaulatannya dan awal kehancuran musuh-musuh umat Islam.

Sejak itu nama Salman al Farisi mencuat naik. Di zaman pemerintahan Umar bin Khaththab, Salman mendaftarkan diri untuk ikut dalam ekspedisi militer ke Persia. Ia ingin membebaskan bangsanya dari genggaman kelaliman Kisra Imperium Persia yang mencekik rakyatnya dengan penindasan dan kekejaman. Untuk membangun istana Kisra saja, ribuan rakyat jelata terpaksa dikorbankan, tidak setitik pun rasa iba terselip di hati sang raja.

Di bawah pimpinan Panglima Sa’ad bin Abi Waqash, tentara muslim akhirnya berhasil menduduki Persia, dan menuntun rakyatnya dengan bijaksana menuju kedamaian Islam. Di Qadisiyah, keberanian dan keperwiraan Salman al Farisi sungguh mengagumkan sehingga kawan dan lawan menaruh menaruh hormat padanya.

Tapi bukan itu yang membuat Salman meneteskan air mata keharuan pada waktu ia menerima kedatangan kurir Khalifah dari Madinah. Ia merasa jasanya belum seberapa besar, namun Khalifah telah dengan teguh hati mengeluarkan keputusan bahwa Salman diangkat menjadi amir negeri Madain.

Umar secara bijak telah mengangkat seorang amir yang berasal dari suku dan daerah setempat. Oleh sebab itu ia tidak ingin mengecewakan pimpinan yang memilihnya, lebih-lebih ia tidak ingin dimurkai Allah karena tidak menunaikan kewajibannya secara bertanggung jawab.

Maka Salman sering berbaur di tengah masyarakat tanpa menampilkan diri sebagai amir. Sehingga banyak yang tidak tahu bahwa yang sedang keluar masuk pasar, yang duduk-duduk di kedai kopi bercengkrama dengan para kuli itu adalah sang gubernur.

Pada suatu siang yang terik, seorang pedagang dari Syam sedang kerepotan mengurus barang bawaannya. Tiba-tiba ia melihat seorang pria bertubuh kekar dengan pakaian lusuh. Orang itu segera dipanggilnya; “Hai, kuli, kemari! Bawakan barang ini ke kedai di seberang jalan itu.” Tanpa membantah sedikitpun, dengan patuh pria berpakaian lusuh itu mengangkut bungkusan berat dan besar tersebut ke kedai yang dituju.

Saat sedang menyeberang jalan, seseorang mengenali kuli tadi. Ia segera menyapa dengan hormat, “Wahai, Amir. Biarlah saya yang mengangkatnya.” Si pedagang terperanjat seraya bertanya pada orang itu, “Siapa dia?, mengapa seorang kuli kau panggil Amir?”. Ia menjawab, “Tidak tahukah Tuan , kalau orang itu adalah gubernur kami?”. Dengan tubuh lemas seraya membungkuk-bungkuk ia memohon maaf pada ‘ kuli upahannya’ yang ternyata adalah Salman al Farisi .

“Ampunilah saya, Tuan. Sungguh saya tidak tahu. Tuan adalah amir negeri Madain, “ ucap si pedagang. “ Letakkanlah barang itu, Tuan. Biarlah saya yang mengangkutnya sendiri.” Salman menggeleng, “Tidak, pekerjaan ini sudah aku sanggupi, dan aku akan membawanya sampai ke kedai yang kau maksudkan.”

Setelah sekujur badannya penuh dengan keringat, Salman menaruh barang bawaannya di kedai itu, ia lantas berkata, “Kerja ini tidak ada hubungannya dengan kegubernuranku. Aku sudah menerima dengan rela perintahmu untuk mengangkat barang ini kemari. Aku wajib melaksanakannya hingga selesai. Bukankah merupakan kewajiban setiap umat Islam untuk meringankan beban saudaranya?”

Pedagang itu hanya menggeleng. Ia tidak mengerti bagaimana seorang berpangkat tinggi bersedia disuruh sebagai kuli. Mengapa tidak ada pengawal atau tanda-tanda kebesaran yang menunjukkan kalau ia seorang gubernur?

Ia barangkali belum tahu, begitulah seharusnya sikap seorang pemimpin menurut ajaran Islam. Tidak bersombong diri dengan kedudukannya, namun ia dituntut merendah di depan rakyatnya. Karena sejatinya, menjadi pemimpin adalah pelayan. Ya seperti, Salman Al Farisi, Gubernur Zuhud yang menjadi kuli di Pasar.

Sumber :
Kisah Orang-orang Sabar
Redaksi ISBAD

“Jangan Ganggu Cucuku! Sesungguhnya Dia Akan Jadi Orang yang Besar!”

kelahiran-sirah-padang pasir
Setelah masa disusui oleh Halimah berakhir, Rasulullah SAW yang masih anak-anak dikembalikan kepada ibundanya. Beliau SAW tinggal bersama ibundanya sampai usianya enam tahun.

Sebagai bentuk kasih sayangnya, Aminah, ibunda Rasulullah SAW memandang perlu untuk menziarahi kuburan suaminya di Yastrib (Madinah). Aminah akhirnya keluar dari Makkah dengan menempuh perjalanan 500 km bersama Rasulullah SAW yang masih kecil, mertuanya Abdul Muthalib, dan pembantunya Ummu Aiman.

Setelah tinggal selama sebulan di sana, mereka bermaksud kembali pulang ke Makkah, akan tetapi Aminah terserang penyakit di tengah perjalanan sehingga beliau meninggal dunia. Beliau meninggal di suatu tempat bernama Al-Abwa’ yang terletak antara Makkah dan Madinah. Hingga setelah itu Rasulullah SAW kecil dibawa pulang bersama Sang Kakek ke Makkah.

Abdul Muthalib merasakan kasih sayang yang teramat sangat terhadap cucunya Muhammad SAW. Terlebih lagi adanya musibah baru yang menimpa dirinya dan cucunya, seakan menggores luka lama yang belum sembuh betul. Dia tak pernah membiarkan cucunya tersebut hanyut dalam kesendirian yang terpaksa harus dialaminya, bahkan dia lebih mengedepankan  kepentingan cucunya daripada anak-anaknya.

Biasanya sudah terhampar permadani untuk Abdul Muthalib di bawah naungan Ka’bah. Lalu anak-anaknya duduk di sekitar permadani tersebut hingga dirinya datang. Tak seorang pun dari anaknya yang duduk di permadani itu sebagai rasa hormat terhadap ayahnya.

Namun suatu ketika Rasulullah SAW berusia dua tahun, Rasulullah SAW datang dan langsung duduk di atas permadani itu. Paman-pamannya serta merta mencegahnya agar tidak mendekati permadani itu. Bila kebetulan melihat tindakan anak-anaknya itu Abdul Muthalib berkata kepada mereka,

“Jangan kau ganggu cucuku! Demi Allah! Sesungguhnya dia nanti akan jadi orang yang besar!”

Kemudian ia duduk dengan cucunya di permadani tersebut, beliau SAW mengusap-usap punggung kakeknya dengan tangannya. Abdul Muthalib merasa senang dengan kelakuan cucunya tersebut.

Sumber :
  • Perjalan Hidup Rasul yang Agung Muhammad SAW/Karya: Syaikh Shafiyyurahman al-Mubarakfuri/Penerbit: Darul Haq
  • Redaksi ISBAD

Rasulullah Baru Poligami di Usia 51 Tahun



Dalam sirah disebutkan, Rasulullah mengakhiri masa lajangnya di usia 25 tahun dengan mengawini seorang perempuan mulia bernama Khadijah binti Khuwalid yang saat itu merupakan seorang janda empat anak dari perkawinan sebelumnya dan telah berusia 40 tahun. Ini adalah pernikahan yang ditunjuk Allah karena Khadijah merupakan wanita mulia dan yang pertama memeluk Islam. Dari Rasulullah SAW, Khadijah mendapat 6 orang anak lagi.

Rasulullah menjalani monogami—tidak menikah lagi—selama 25 tahun bersama Khadijah. Tidak ada satu pun petunjuk bahwa selama bersama Khadijah, Rasulullah pernah menyatakan niat untuk melakukan poligami atau tergoda dengan perempuan lain. Kesetiaan terhadap Khadijah dijalaninya selama 25 tahun masa pernikahan hingga Khadijah wafat.

Jika Rasulullah mau poligami di masa itu, di saat masih muda dan prima, tentu Rasulullah akan mudah untuk melakukannya. Terlebih sejumlah pemimpin suku Quraisy pernah merayu Beliau dengan tawaran perempuan-perempuan paling cantik seantero Arab sekali pun agar Rasulullah mau menghentikan dakwahnya. Tawaran yang di saat sekarang ini sangat menggiurkan, sebuah tawaran yang banyak sekali membuat pejabat, Raja, Presiden, dan bangsawan jatuh dari kursi kekuasaannya, tidak membuat Rasulullah bergeming. Rasulullah tetap setia pada Khadijah dan Dakwah Islam.

Ketika Khadijah wafat di kala Rasulullah berusia 50 tahun, beberapa waktu dilalui Rasulullah dengan menduda. Barulah di saat usia beliau menginjak 51 atau dilain kisah ada yang menulis 52 tahun, maka Rasulullah mengakhiri masa dudanya dengan menikahi Aisyah yang baru berusia 9 tahun (ada catatan lain yang mengatakan Aisyah ketika dinikahi Rasulullah berusia 19 tahun). Namun pernikahan dengan Aisyah ini baru disempurnakan ketika Beliau hijrah ke Madinah.

Setelah dengan Aisyah, Rasulullah yang telah berusia 56 tahun menikah lagi dengan Saudah binti Zam’ah, seorang janda berusia 70 tahun dengan 12 orang anak. Setelah dari Saudah, Rasulullah kembali menikah dengan Zainab binti Jahsyi, janda berusia 45 tahun, lalu dengan Ummu Salamah (janda berusia 62 tahun). Di saat berusia 57 tahun, Rasulullah kembali menikahi Ummu Habibah (janda 47 tahun), dan Juwairiyah binti Al-Harits (janda berusia 65 tahun dengan telah punya 17 anak).

Setahuh kemudian Rasulullah kembali menikahi Shafiyah binti Hayyi Akhtab (janda berusia 53 tahun dengan 10 orang anak), Maimunah binti Al-Harits (anda berusia 63 tahun), dan Zainab binti Harits (Janda 50 tahun yang banyak memelihara anak-anak yatim dan orang-orang lemah).

Setahun kemudian, Rasulullah menikah lagi dengan Mariyah binti Al-Kibtiyah (gadis 25 tahun yang dimerdekakan), lalu Hafshah binti Umar bin Khattab (janda 35 tahun, Rasulullah berusia 61 tahun), dan ketika berusia 61 tahun itulah Rasulullah baru menyempurnakan pernikahannya dengan Aisyah, saat mereka telah hijrah ke Madinah.

Dalam setiap pernikahan poligami yang dilakukan Rasulullah SAW terdapat keistimewaan-keistimewaan dan situasi khusus sehingga Allah mengizinkan Beliau untuk itu. Dari segala catatan yang ada, tidak pernah ada satu catatan pun yang menyatakan bahwa pernikahan poligami yang dilakukan Rasulullah disebabkan Rasulullah ingin menjaga kesuciannya dari perzinahan atau dari segala hal yang berkaitan dengan hawa nafsu. Maha Suci Allah dan Rasul-Nya.

Alasan yang banyak dikemukakan para poligamor sekarang ini dalam melakukan kehidupan poligami adalah untuk menjaga kesucian mereka dari perzinahan. Ini tentu tidak salah. Hanya saja, dengan memiliki isteri lebih dari satu, hal itu bukanlah jaminan bahwa seorang lelaki terbebas dari godaan terhadap perempuan lain. Rasulullah SAW tidak pernah menjadikan alasan ini untuk poligaminya.

Dalam tulisan kedua akan dipaparkan satu-persatu keistimewaan pernikahan poligami Rasulullah SAW., yang dilakukan bukan karena desakan hawa nafsu, bukan agar tidak tergoda lagi dengan perempuan lain, bukan untuk alasan klise menjaga syahwat, dan sebagainya. Tujuan poligami Rasulullah SAW memiliki landasan yang lebih agung dan mulia. Bukan sekadar alasan yang dicari-cari agar bisa nikah lagi.

Sepeninggal Khadijah r. A., Rasulullah SAW sangat bersedih hati. Namun kesedihan ini tidak dipendam lama-lama karena dakwah Islam yang masih berusia sangat muda memerlukan penanganan yang teramat serius. Sebab itu, Rasulullah SAW memerlukan pendamping hidup sepeninggal Khadijah r. A. Maka beliau pun, atas izin Allah SWT, menikah kembali. Inilah keutamaan pernikahan-pernikahan yang dilakukan Rasulullah SAW sepeninggal Khadijah r. A. Seperti yang ditulis oleh Dr. M. Syafii Antonio, M. Ec dalam buku “The Super Leader Super Manager: Learn How to Succeed in Business & Life From The Best Example” (ProLM;Agustus 2007). Inilah petikannya:

Saudah binti Zum’ah
Ketika dilamar Rasulullah SAW, Saudah telah berusia 70 tahun dengan 12 anak. Perempuan berkulit hitam dari Sudan ini merupakan janda dari sahabat Nabi bernama As-Sukran bin Amral Al-Anshari yang menemui syahid keran menjadikan dirinya perisai hidup bagi Rasulullah di medan perang. Rasulullah yang ketika melamar Saudah telah berusia 56 tahun menikahi wanita itu agar Saudah bisa terjaga keimanannya dan terhindar dari gangguan kaum Musyirikin yang tengah hebat-hebatnya memusuhi umat Islam yang ketika itu masih sangat sedikit jumlahnya.

Zainab binti Jahsy
Tak lama setelah menikahi Saudah, Rasulullah mendapat perintah dari allah SWT untuk menikahi Zainab binti Jahsy, seorang janda berusia 45 tahun yang berasal dari keluarga terhormat. Pernikahan dengan Zainab ini merupakan suatu pelaksanaan perintah Allah SWT bahwa pernikahan haruslah sekufu. Zainab merupakan mantan isteri dari Zaid bin Haritsah.

Ummu Salamah binti Abu Umayyah
Setelah menikahi Saudah dan Zainab, Rasulullah kembali mendapat perintah Allah SWT agar menikahi puteri dari bibinya yang pandai mengajar dan juga pandai berpidato. Ummu Salamah binti Abu Umayyah, seorang janda berusia 62 tahun. Setelah menikah dengan Rasulullah SAW, Ummu Salamah kelak banyak membantu Nabi dalam medan dakwah dan pendidikan bagi kaum perempuan.

Ummu Habibah Ramlah binti Abu Sufyan
Dalam pengembangan dakwah Islam yang masih sangat terbatas, umat Islam mendapat cobaan ketika salah seorang darinya, Ubaidillah bin Jahsy, murtad dan menjadi seorang Nasrani. Secara syar’i, murtadnya Ubaidillah ini menyebabkan haram dan putusnya ikatan suami-isteri dengan Ummu Habibah Ramlah binti Abu Sufyan. Untuk menyelamatkan akidah janda berusia 47 tahun ini, Rasulullah mengambil langkah cepat dengan menikahi Ummu Habibah. Kelak langkah Rasulullah SAW ini terbukti tepat dengan aktifnya Ummu Habibah di dalam menunjang dakwah Islam.

Juwairiyyah binti Al-Harits al-Khuzaiyyah
Juwairiyyah adalah seorang janda berusia 65 tahun dengan 17 anak. Perempuan ini merupakan budak dan tawanan perang yang dibebaskan Rasulullah. Setelah dibebaskan Rasulullah SAW, Juwairiyyah dengan ke-17 orang anaknya tentu akan kebingungan karena dia sama sekali tidak memiliki seorang kerabat pun. Allah SWT memerintahkan Nabi SAW agar menikahi perempuan ini sebagai petunjuk agar manusia mau membebaskan budak dan memerdekakannya dari perbudakan dan penghambaan kepada selain Allah SWT. 


Shafiyyah binti Hayyi Akhtab
Setahun setelahnya, saat berusia 58 tahun, Rasulullah kembali menikahi Shafiyah binti Hayyi Akhtab, seorang janda dua kali berusia 53 tahun dan memiliki 10 orang anak dari pernikahan sebelumnya. Shafiyyah merupakan seorang perempuan Muslimah dari kabilah Yahudi Bani Nadhir. KeIslaman Shafiyyah diboikot orang-orang Yahudi lainnya. Untuk menolong janda tua dengan 10 orang anak inilah Rasulullah SAW menikahinya.

Maimunah binti Al-Harits
Dakwah Islam tidak hanya diperuntukkan bagi orang-orang Arab semata, tetapi juga kepada manusia lainnya termasuk kepada orang-orang Yahudi. Sebab itu, Rasulullah kemudian menikahi Maimunah binti Al-Harits, seorang janda berusia 63 tahun, yang berasal dari kabilah Yahudi Bani Kinanah. Pernikahan ini dilakukan semata untuk mengembangkan dakwah Islam di kalangan Yahudi Bani Nadhir.

Zainab binti Khuzaimah bin Harits
Zainab binti Khuzaimah merupakan seorang janda bersuia 50 tahun yang sangat dermawan dan banyak mengumpulkan anak-anak yatim, orang-orang lemah, serta para fakir miskin di rumahnya, sehingga masyarakat sekitar menjulukinya sebagai “Ibu Fakir Miskin”. Guna mendukung secara aktif aktivitas janda tua ini maka Rasulullah menikahinya. Dengan pernikahannya ini Rasulullah ingin mencontohkan kepada umat-Nya agar mau bersama-sama menyantuni anak-anak yatim dan orang-orang lemah, bahkan dengan hidup dan kehidupannya sendiri.

Mariyah al-Kibtiyyah
Setelah delapan pernikahannya dengan para janda-janda tua dengan banyak anak, barulah Rasulullah SAW menikahi seorang gadis bernama Mariyah al-Kibtiyah. Namun pernikahannya ini pun bertujuan untuk memerdekakan Mariyah dan menjaga iman Islamnya. Mariyah merupakan seorang budak berusia 25 tahun yang dihadiahkan oleh Raja Muqauqis dari Iskandariyah Mesir.

Hafshah binti Umar bin Khattab
Dia merupakan puteri dari Umar bin Khattab, seorang janda pahlawan perang Uhud yang telah berusia 35 tahun. Allah SWT memerintahkan Rasulullah untuk menikahi perempuan mulia ini karena Hafshah merupakan salah seorang perempuan pertama di dalam Islam yang hafal dengan seluruh surat dan ayat al-Qur’an (Hafidzah). Pernikahan ini dimaksudkan agar keotentikan al-Qur’an bisa tetap terjaga.

Aisyah binti Abu Bakar
Puteri dari Abu Bakar Ash-Shiddiq ini merupakan seorang perempuan muda yang cantik, cerdas, dan penuh izzah. Allah SWT memerintahkan langsung kepada Rasululah SAW agar menikahi gadis ini. Pernikahan Rasululah dengan Aisyah r. A. Merupakan perintah langsung Allah SWT kepada Rasulullah SAW lewat mimpi yang sama tiga malam berturut-turut (Hadits Bukhari Muslim). Tentang usia pernikahan Aisyah yang katanya masih berusia 9 tahun, ini hanya berdasar satu hadits dhaif yang diriwayatkan oleh Hisyam bin ‘Urwah saat beliau sudah ada di Iraq, dalam usia yang sangat tua dan daya ingatnya sudah jauh menurun. Mengenai Hisyam, Ya’qub ibn Syaibah berkata, “Apa yang dituturkan oleh Hisyam sangat terpercaya, kecuali yang dipaparkannya ketika ia sudah pindah ke Iraq. ” Malik ibnu anas pun menolak segala penuturan Hisyam yang sudah berada di Iraq.

Oleh para orientalis, hadits dhaif ini sengaja dibesar-besarkan untuk menjelek-jelekan Rasulullah SAW. Padahal menurut kajian-kajian semacam al-Maktabah Al-Athriyyah (jilid 4 hal 301) dan juga kajian perjalanan hidup keluarga dan anak-anak dari Abu Bakar Ash-Shiddiq, maka akan diperoleh keterangan kuat bahwa Asiyah sesungguhnya telah berusia 19-20 tahun ketika menikah dengan Rasululah SAW. Suatu usia yang cukup matang uhtuk menikah.

Bagi yang mau lebih jauh menelusuri tentang keterangan ini silakan menelusuri Tarikh al-Mamluk (Jilid 4, hal. 50) dari at-Thabari, Muassasah al-Risalah (Jilid. 2 hal. 289) dari Al-Zahabi, dan sumber-sumber ini dituliskan kembali oleh Dr. M. Syafii Antonio, M. Ec dalam buku “The Super Leader Super Manager: Learn How to Succeed in Business & Life From The Best Example” (ProLM;Agustus 2007). Jadi tidak benar tudingan dan fitnah para orientalis bahwa Rasulullah menikahi Aisyah di saat gadis itu masih berusia sangat belia.

Inilah pernikahan-pernikahan agung yang dilakukan Rasulullah SAW. Beliau banyak menikahi para janda tua dengan banyak anak sebelum menikah dengan dua gadis (Mariyyah dan Aisyah), itu pun atas perintah Allah SWT dan di saat usia Beliau sudah tidak muda lagi. Poligami yang diajarkan, yang disunnahkan Rasulullah SAW adalah poligami yang berdasarkan syariat yang sejati, bukan berdasar akal-akalan, bukan berdasarkan syahwat yang berlindung di balik ayat-ayat Allah SWT.

Jika sekarang banyak sekali orang-orang Islam yang melakukan poligami, mengambil isteri kedua, isteri ketiga, dan isteri keempat, yang semuanya masih gadis, cantik, muda usia, dan sesungguhnya tidak berada dalam kondisi yang memerlukan pertolongan darurat terkait keimanannya, maka hal itu berpulang kepada mereka masing-masing. Adakah poligami yang demikian itu sesuai dengan poligami yang dilakukan dan dijalani Rasululah SAW? Silakan tanya pada hati nurani masing-masing, karena hati nurani tidak pernah mampu untuk berbohong. Wallahu’alam bishawab. 

Sumber : Islampos
              Redaksi ISBAD