Hari-hari ini Salim terlihat seperti sering gundah. Usia Salim, anak angkat Abu Hudzaifah, sebenarnya sudah beranjak dewasa. Dan Sahabat Rasul yang satu ini sehari-harinya sepertinya hanya memeprsiapkan dan mengurusi perang dan perang saja. Memang, kala itu kaum muslimin yang berada langsung di bawah pengawasan Rasulullah tengah menghadapi masa-masa penyebaran Islam yang cukup genting; semua orang diminta untuk siap kapanpun berjihad.
Diam-diam kondisi Salim itu membuat cemas beberapa orang yang dekat dengannya. Abu Hudzaifah misalnya. Ayah angkat Salim ini sering juga bertanya-tanya kenapa Salim menyendiri saja. Ia kadang-kadang mengira-ngira; mungkin karena Salim bekas seorang budak belian, maka ia malu untuk menikah.
Selain Abu Hudazifah, tentu saja Rasulullah—orang yang selalu tahu akan apa yang tengah dirasa oleh sahabat-sahabatnya—menyadari hal itu. Rasulullah merasa kasihan kepada Salim. Banyak sudah pengorbanan Salim kepada Islam. Rasulullah sudah membuktikan keteguhan Salim selama ini. Anak angkat Abu Hudzaifah itu langsung dididiknya, mengikutinya dari satu mejelis ilmu ke mejelis ilmu lainnya. Hingga tak heran jika dalam waktu singkat di usia muda, Salim telah menjadi tempat bertanya orang tentang kitabullah—Alquran.
Diam-diam Abu Hudzaifah mendekati Rasulullah dan membicarakan perkara Salim. Rasulullah waktu itu hanya terdiam saja. Adapun Abu Hudazifah berniat menikahkan anak angkatnya itu dengan kemenakannya, Fatimah binti Walid bin Uthbah.
Akhirnya Rasulullah memanggil Salim juga. Salim bertanya-tanya hendak ada apakah gerangan Rasulullah memanggilnya?
Mungkinkah ada perintah Rasulullah yang lalai ia kerjakan?
Setelah berhadapan dengan Rasulullah, Salim hanya tertunduk saja. Di depan Rasulullah, entah kenapa Salim selalu merasa harus menghormati orang yang paling berjasa dalam hidupnya. Ia sering kali teringat bahwa sebelum ia memasuki agama orang di hadapannya itu, ia hanyalah seorang budak yang hinda dina, orang-orang bahkan tidak menganggapnya. Dan Islam kemudian lewat Rasulullah, menyuruh menghapuskan perbudakan. Sejak saat itu selamatlah Salim. Bahkan setelah menjadi pengikut Rasulullah, Salim berubah menjadi orang yang dikenali banyak orang, disegani karena keluhuran ilmu agamanya.
Harus selalu Rasulullah yang memulai percakapan, “Aku hendak bertanya kepadamu tentang sesuatu…” ujar Rasulullah memecahkan kesunyian yang ada di antara mereka.
Salim sedikit mendongak. Ia melihat betapa teduhnya wajah pembimbingnya itu. Penuh kasih. Penuh bijak dan selalu mengerti siapa saja orang di hadapannya, “Ada apakah ya Rasul?”
Rasul tersenyum sebentar. “Tidak ada apa-apa. Hanya Salim, apakah engkau tidak ingin menikah?”
Salim terdiam. Sesungguhnya ia cukup terkejut karena ternyata Rasulullah mengetahui apa yang selama ini menjadi kegundahan hatinya. Wajahnya seketika bersemu merah, namun ia berusaha keras untuk tidak membiarkan Rasulullah mengetahuinya. Rasulullah sendiri hanya tersenyum-senyum saja melihat Salim sedemikian rupa. “Bagaimana?”
Salim masih belum menjawab. Setelah beberapa kali menarik nafas, barulah kemudian ia bersuara—dengan sedikit malu-malu, “Bukannya tidak ingin ya Rasulullah, tapi siapakah gerangan orangnya yang mau menikah dengan saya?”
Rasulullah tersenyum kembali mendengar jawaban Salim. Siapa yang mau menikah dengan pemuda asuhannya itu? Banyak.
Kapasitas Salim sebagai salah seorang pengemban Alquran tanpa disadarinya banyak diharapkan oleh para gadis Mekkah secara diam-diam. Namun di sisi lain Rasulullah menyadari kenapa Salim berpikiran seperti itu. Latar belakang masa lalunya kemungkinan besar masih membuatnya tidak begitu percaya diri dalam urusan yang satu ini. Maka Rasulullah berkata. “Begini Salim, maukkah kau kutunjukkan sesuatu? Datanglah pada Fatimah binti Walid bin Utbah. Ia seorang gadis yang baik juga sholihah. Ia pantas mendampingi perjuangan dakwahmu. Lamarlah ia…”
Salim tertegun mendengar ucapan Rasulullah. Ia tahu siapa yang dimaksud oleh Rasulullah. Manakala ia didera ketidakpercayaan, namun ia segera sadar bahwa Rasulullah adalah seorang bijak, tidak asal ucap dan tunjuk. Tentu Rasulullah sudah mempertimbangkan segala sesuatu di antara dirinya dan orang yang dimaksudnya itu. Baik itu dari segi kedudukan atau pun kemampuan—Rasulullah tentulah menunjukkan orang yang sesuai dengan kemampuan dan kedudukannya.
Maka pergilah Salim menemui gadis yang dimaksud oleh Rasulullah. Ia menemui wali sang gadis. Dan memang benarlah bahwa lamarannya diterima oleh wali dan gadis itu. Bukan semata-mata karena Salim mendapat perintah dari Rasulullah saja, tetapi lebih karena baik yang dipinang ataupun yang meminang menyadari bahwa pernikahan yang mereka rencanakan adalah untuk kelangsungan dakwah. Mereka tidak bermaksud membuat sulit proses itu.
Tapi Salim belum mepunyai apa-apa. Bergegaslah ia ke pasar membeli segala keperluan yang ia perlukan dalam pernikahannya nanti. Tidak sulit. Toh salim memang telah mempersiapkan segala sesuatunya. Lagipula sahabat-sahabatnya juga sangat membantunya.
Namun belum sampai ia di rumah, tiba-tiba saja terdengar panggilan jihad. Kaum muslimin diminta untuk segera bersiap-siap menuju medan perang. Salim tanpa banyak pikir segera menjadi orang pertama yang berada dalam barisan. Ia segera menjual kembali barang-barang persiapan walimahnya dan membeli alat-alat perang. Sebelumnya ia mendatangi keluarga Fatimah. Ia mengatakan, “Aku bukannya tidak menghormati bakal pernikahan kita, tetapi saat ini Islam membutuhkan pengorbanan kita. Jika aku kembali, insyaAllah aku akan meneruskan apa-apa yang ada di antara kita…”
Fatimah tidak berkata apa-apa. Ia melepas ikhlas kepergian Salim. Ia menunggu. Namun ternyata Salim gugur di medan perang. Gugur bersama ayah angkatnya—Abu Hudzaifah. Mereka syahid. Namun tiada kegundahan yang terbaca di wajah para syuhada itu. Salim memang belum bertemu dengan Fatimah, tetapi saat itu ia tengah ditunggu oleh para bidadari surga.
Sumber :
Islampos
Redaksi ISBAD
Tidak ada komentar:
Posting Komentar