" IKATAN SILATURAHMI BAHAGIA DUA, KREO SELATAN "

Sabtu, 16 Januari 2016

Penyusun Kitab Maulid; Biografi Ad-Diba'i

Kitab Maulid
(dok:sinnerinrepentance.blogspot)

Bulan Rabi’ul Awwal, bulan ke-3 dalam penanggalan Hirjriyah/Qomariyah (menurut perputaran bulan/lunar), merupakan bulan istimewa bagi umat Islam seluruh dunia. Di bulan ini, sosok istimewa, Nabi Muhammad SAW, Rasul terakhir, penutup para Nabi, dilahirkan. Tepatnya pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal. Peringatan kelahiran Nabi biasa disebut dengan Maulid Nabi, atau Mauludan. Orang Jawa sendiri, sering menyebut bulan Rabi’ul Awwal dengan bulan Maulud (bulan kelahiran).
Mauludan selalu disambut kamu muslimin dengan meriah. Baik di Indonesia ataupun di banyak negara  muslim lainnya. Berbagai cara untuk merayakannya, sesuai dengan tradisi daerah masing-masing. Namun, ada 1 kegiatan yang menjadi kesamaan peringatan hari kelahiran Nabi, yaitu pembacaan kitab Maulid. Kitab yang memuat lantunan tentang sejarah Nabi dan berbagai pujian kepada beliau.
Ada beberapa kitab Maulid yang biasa rutin dibaca di kalangan muslim Indonesia, di antaranya Maulid Ad-Diba’I, Al-Barzanji, Al-Burdah, Simtud Dhuror. Kitab-kitab tersebut rutin dibaca ketika mulai memasuki tanggal 1 bulan Maulud. Juga sering dibaca di luar bulan Maulud, ketika seseorang punya gawe, seperti aqiqohan, slametan, haul kematian, atau rutinan seminggu sekali.
Para penyusun kitab-kitab tersebut juga bukan orang biasa. Melainkan para ulama’ yang selain alim-allamah, juga merupakan panutan di zamannya masing-masing. Selain juga, banyak sekali hikmah serta manfaat yang dirasakan oleh orang yang membaca kitab-kitab tersebut. Apalagi yang meng-istiqomahi-nya.
Berikut sedikit biografi dari para ulama’ penyusun kitab-kitab Maulid. Dimulai dari penyusun kitab Maulid Ad-Diba’i.
Nama lengkap beliau yaitu Imam Wajihuddin ‘Abdur Rahman bin Muhammad bin ‘Umar bin ‘Ali bin Yusuf bin Ahmad bin ‘Umar ad-Diba`i Asy-Syaibani Al-Yamani Az-Zabidi Asy-Syafi`i. Beliau mahsyur dengan nama Ibnu Diba’. Sebenarnya kata "Diba`" adalah julukan (laqob) kakeknya yang bernama Ali bin Yusuf Diba` yang dalam bahasa Sudan berarti putih.
Beliau dilahirkan di kota Zabid, salah satu kota di Yaman Utara, pada sore hari Kamis 4 Muharram 866 H. Sekarang kota Zabid termasuk dalam kawasan propinsi Hudaidah. Letaknya berada di tengah-tengah lembah Zabid, yang berjarak 40 kilometer dari Laut Merah. Dahulu kota Zabid dikenal juga dengan nama "Hushoib". Zabid merupakan salah satu kota pusat keilmuan di Yaman, di mana sejarah mencatat banyak ulama-ulama dari berbagai penjuru belahan dunia yang datang untuk menuntut ilmu atau sekedar mencari sanad hadits di kota ini.
Kota Zabid ini merupakan kota yang penuh barokah, karena merupakan kota yang pernah masuk do’a Rasulullah. Ini terjadi ketika pada tahun 8 Hijriyah rombongan suku Asy`ariah (di antaranya adalah Abu Musa Al Asy`ari) yang berasal dari Zabid datang ke Madinah dan menyatakan keislamannya dan mengimani kerasulan Nabi Muhammad beserta ajarannya. Karena begitu senangnya atas kedatangan mereka, Nabi Muhammad SAW berdoa memohon semoga Allah SWT memberkahi kota Zabid dan Nabi mengulangi doanya sampai tiga kali (HR. Al Baihaqi).
Masa Kecil
Masa kecil Ibnu Diba’ dihabiskan hanya untuk mencari ilmu. Beliau lahir ketika ayahnya sedang bepergian, dan sampai akhir hayatnya beliau tidak pernah bertemu dengan ayahnya. Beliau diasuh oleh kakek dari ibunya yang bernama Syeikh Syarafuddin bin Muhammad Mubariz yang juga seorang ulama besar yang tersohor di kota Zabid saat itu. Meskipun demikian, ketiadaan sosok ayah tidak menjadi penghalang bagi Ibn Diba` untuk menuntut ilmu pada ulama-ulama besar Zabid.
Beliau belajar membaca Al Quran dibawah bimbingan Syeikh Nuruddin Ali bin Abu Bakar lalu berpindah kepada mufti Zabid Syeikh Jamaluddin Muhammad Atthoyyib yang masih terhitung pamannya sendiri.

Setelah melihat bakat kecerdasan istimewa yang dimiliki Ibn Diba`, maka sang Mufti menyuruhnya untuk membaca Al Quran dari awal hingga akhir. Berkat kecerdasan dan ketekunan, beliau sudah bisa menghafal Al Quran saat masih berusia sepuluh tahun.
Tak lama setelah berhasil menghatamkan Al Quran, Ibn Diba' mendengar berita duka bahwa ayahnya telah meninggal dunia di salah satu daerah di daratan India. Beliau mendapatkan harta warisan sebanyak 8 Dinar.

Meninggalnya ayah beliau tak memadamkan motivasi Ibn Diba` dalam menuntut ilmu, malah sebaliknya beliau makin semangat. Setelah peristiwa itu, beliau memutuskan untuk belajar ilmu Qiroat dengan mengaji Nadzom (bait) Syatibiyah dan juga mempelajari ilmu Bahasa (gramatika), Matematika, Faroidl, Fikih, dengan masih di bawah bimbingan pamannya. Atas arahan pamannya, beliau disuruh untuk mengaji kitab Zubad (nadlom Fiqh madzhab Syafi`i) kepada Syeikh Umar bin Muhammad Al-Fata Al-Asy`ari.
Menimba Ilmu
Setelah menghatamkan kitab Zubad, dengan bermodal uang harta warisan yang didapat dari ayahnya, Ibn Diba` menempuh perjalanan jauh menuju tanah Haram Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Sepulang dari Makkah, beliau disambut dengan berita duka bahwa kakeknya meninggal dunia. Sepeninggal kakeknya, Ibn Diba` tinggal bersama pamannya sambil tetap mengkaji beberapa ilmu di bawah bimbingan pamannya.
Pada tahun 885 H. beliau berangkat ke Makkah lagi untuk menunaikan ibadah haji yang kedua kalinya. Dan sepulangnya dari Makkah beliau mengkaji ilmu Hadits dengan membaca Shohih Bukhori, Muslim, Tirmidzi, Al Muwattho` di bawah bimbingan Syeikh Zainuddin Ahmad bin Ahmad Asy Syarjiy. Hingga akhir hayatnya tercatat beliau mengajar kitab Shahih Al-Bukhari lebih dari 100 kali khatam. Beliau juga disebut mencapai derajat Hafidz dalam ilmu hadits, yaitu seorang yang menghafal lebih dari 100,000 hadits dengan sanadnya.
Di tengah-tengah sibuknya belajar Hadits, Ibn Diba' menyempatkan diri untuk mengarang kitab Ghoyatul Mathlub yang membahas tentang kiat-kiat bagi umat Muslim agar mendapat ampunan dari Allah SWT. Tak puas dengan hanya belajar Hadits, Ibn Diba` lalu belajar Fiqih dengan membaca kitab Minhajut Tholibin dan Haawi Shoghir kepada Syeikh Jamaluddin bin Ahmad bin Jaghman dan membaca kitab-kitab hadits kepada Syeikh Burhanuddin bin Jaghman.
Pada tahun 896 H. beliau berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji yang ketiga kalinya dan berziarah ke makam Nabi Muhammad SAW di Madinah. Setelah itu kembali lagi ke Makkah untuk menuntut ilmu Hadis kepada para ulama tanah Haram, di antara gurunya Syeikh Syamsuddin Muhammad bin Abdurrahman Assyakhowi, seorang ulama Hadis yang tersohor kala itu. Sepulang dari Makkah beliau mengarang kitab Kasyfu Al Kirbah dan Bughyat Al Mustafid. Karena kehebatan karangannya, beliau mendapat pujian dari Sultan Dzofir `Amir bin Abdul Wahab, dan memintanya untuk hadir ke istananya.

Sultan Dzofir lalu memberikan usulan untuk menambal kekurangan-kekurangan yang ada di kitabnya. Sebelum pulang ke Zabid beliau diberi hadiah sebuah rumah dan sepetak kebun kurma di kota Zabid. Sultan juga memintanya untuk mengajar ilmu Hadis di masjid Jami` Zabid.
Sepanjang hidupnya Ibnu Diba’ belajar banyak fan ilmu, mulai dari hadits, fiqih, juga tarikh (sejarah), hingga beliau dikenal sebagai ulama’ yang ahli hadits dan tarikh. Beliau juga telah menimba ilmu dari banyak ulama’. Diantara guru-guru beliau ialah Al-Imam Al-Hafiz As-Sakhawi, Al-Imam Ibnu Ziyad, Al-Imam Jamaluddin Muhammad bin Ismail, mufti Zabid, Al-Imam Al-Hafiz Tahir bin Husain Al-Ahdal, dsb.
Karya-Karya Ibnu Diba’
Pada masanya, Ibnu Diba’ dikenal sebagai ulama’ yang produktif. Banyak karya yang lahir dari tangan beliau. Selain Maulid Ad-Diba’ yang sudah dikenal, ada beberapa kitab yang merupakan hasil karya beliau. Antara lain : Qurrotul `Uyun yang membahas tentang seputar Yaman, kitab Mi`roj, Taisiirul Usul, Bughyatul Mustafid dan beberapa bait syair. Juga kitab-kitab yang telah disebut di atas, Ghoyatul Mathlub, serta Kasyfu Al-Kirbah.
Keistiqomahan Ibnu Diba’
Ibn Diba' mempunyai kebiasaan untuk membaca surat Al-fatihah dan menganjurkan kepada murid-murid dan orang sekitarnya untuk sering membaca surat Al-fatihah. Sehingga setiap orang yang datang menemui beliau harus membaca Fatihah sebelum mereka pulang.
Hal ini tidak lain karena beliau pernah mendengar salah seorang gurunya pernah bermimpi, bahwa hari kiamat telah datang lalu dia mendengar suara, “ Wahai orang Yaman masuklah ke surga Allah.” Lalu orang-orang bertanya, “Kenapa orang-orang Yaman bisa masuk surga ?” Kemudian dijawab, "karena mereka sering membaca surat Al-Fatihah".
Hinga akhir hayatnya Ibnu Diba’ mengabdikan diri sebagai pengajar dan pengarang kitab. Ibn Diba wafat di kota Zabid pada pagi hari Jumat, tanggal 26 Rajab, 944 H.
رَبِّ فَانْفَعْنَا بِبَرْكَتِهِمْ # وَاهْدِنَا الْحُسْنَى بِحُرْمَتِهِمْ
وَأَمِتْـنَا فِي طَرِيْقَتِهِمْ # وَمُعَـافَاةٍ مِنَ الْفِتَنِ
-------
-------
*) dari berbagai sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar