|
KH. Zainuri Syafi'i |
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْعُلُمَاءُ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ
“Ulama adalah pewaris para nabi.” (HR At-Tirmidzi dari Abu Ad-Darda radhiallahu ‘anhu),
Para ulama semakin langka, dan semakin banyaknya orang bodoh yang berambisi untuk menjadi ulama. Simak risalah ini selanjutnya.
Di
samping sebagai perantara antara diri-Nya dengan hamba-hamba-Nya,
dengan rahmat dan pertolongan-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala juga
menjadikan para ulama sebagai pewaris perbendaharaan ilmu agama.
Sehingga, ilmu syariat terus terpelihara kemurniannya sebagaimana
awalnya. Oleh karena itu, kematian salah seorang dari mereka
mengakibatkan terbukanya fitnah besar bagi muslimin.
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan hal ini dalam sabdanya
yang diriwayatkan Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash, katanya: Aku mendengar
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ
اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعاً يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِباَدِ،
وَلَكِنْ بِقَبْضِ الْعُلَماَءِ. حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عاَلِماً
اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوْساً جُهَّالاً فَسُأِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ
عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari hamba-hamba. Akan tetapi Dia
mencabutnya dengan diwafatkannya para ulama sehingga jika Allah tidak
menyisakan seorang alim pun, maka orang-orang mengangkat pemimpin dari
kalangan orang-orang bodoh. Kemudian mereka ditanya, mereka pun berfatwa
tanpa dasar ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. Al-Bukhari no. 100 dan Muslim no. 2673)
Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah mengatakan: Asy-Sya’bi berkata:
“Tidak
akan terjadi hari kiamat sampai ilmu menjadi satu bentuk kejahilan dan
kejahilan itu merupakan suatu ilmu. Ini semua termasuk dari terbaliknya
gambaran kebenaran (kenyataan) di akhir zaman dan terbaliknya semua
urusan.”
Di dalam Shahih Al-Hakim diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr secara marfu’ (riwayatnya sampai kepada Rasulullah):
“Sesungguhnya termasuk tanda-tanda datangnya hari kiamat adalah direndahkannya para ulama dan diangkatnya orang jahat.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 60)
Meninggalnya
seorang yang alim akan menimbulkan bahaya bagi umat. Keadaan ini
menunjukkan keberadaan ulama di tengah kaum muslimin akan mendatangkan
rahmat dan barakah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Terlebih Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengistilahkan mereka dalam sebuah
sabdanya:
مَفاَتِيْحُ لِلِخَيْرِ وَمَغاَلِيْقُ لِلشَّرِّ
“Sebagai kunci-kunci untuk membuka segala kebaikan dan sebagai penutup segala bentuk kejahatan.”
Kita
telah mengetahui bagaimana kedudukan mereka dalam kehidupan kaum
muslimin dan dalam perjalanan kaum muslimin menuju Rabb mereka. Semua
ini disebabkan mereka sebagai satu-satunya pewaris para nabi sedangkan
para nabi tidak mewariskan sesuatu melainkan ilmu.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah mengatakan:
“Ilmu
merupakan warisan para nabi dan para nabi tidak mewariskan dirham dan
tidak pula dinar, akan tetapi yang mereka wariskan adalah ilmu.
Barangsiapa yang mengambil warisan ilmu tersebut, sungguh dia telah
mengambil bagian yang banyak dari warisan para nabi tersebut. Dan engkau
sekarang berada pada kurun (abad, red) ke-15, jika engkau termasuk dari
ahli ilmu engkau telah mewarisi dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan ini termasuk dari keutamaan-keutamaan yang paling besar.” (Kitabul ‘Ilmi, hal. 16)
Dari sini kita ketahui bahwa para ulama itu adalah orang-orang pilihan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ثُمَّ أَوْرَثْناَ الْكِتاَبَ الَّذِيْنَ اصْطَفَيْناَ مِنْ عِباَدِناَ
“Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba kami.” (Fathir: 32)
Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan: Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Kemudian
Kami menjadikan orang-orang yang menegakkan (mengamalkan) Al-Kitab
(Al-Quran) yang agung sebagai pembenar terhadap kitab-kitab yang
terdahulu yaitu orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami,
mereka adalah dari umat ini.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/577)
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan:
“Ayat ini sebagai syahid (penguat) terhadap hadits yang berbunyi Al-’Ulama waratsatil anbiya (ulama adalah pewaris para nabi).” (Fathul Bari, 1/83)
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah mengatakan: Maknanya adalah: “Kami
telah mewariskan kepada orang-orang yang telah Kami pilih dari
hamba-hamba Kami yaitu Al-Kitab (Al-Qur’an). Dan Kami telah tentukan
dengan cara mewariskan kitab ini kepada para ulama dari umat engkau
wahai Muhammad yang telah Kami turunkan kepadamu… dan tidak ada keraguan
bahwa ulama umat ini adalah para shahabat dan orang-orang setelah
mereka. Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memuliakan mereka atas
seluruh hamba dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan mereka sebagai
umat di tengah-tengah agar mereka menjadi saksi atas sekalian manusia,
mereka mendapat kemuliaan demikian karena mereka umat nabi yang terbaik
dan sayyid bani Adam.” (Fathul Qadir, hal. 1418)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إن
الْعُلُمَاءُ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ، إِنَّ اْلأَنْبِياَءَ لَمْ
يُوَرِّثُوْا دِيْناَرًا وَلاَ دِرْهَماً إِنَّمَا وَرَّثُوْا الْعِلْمَ
فَمَنْ أَخَذَ بِهِ فَقَدْ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Sesungguhnya
ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan
dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu maka barangsiapa
mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak.”
(Hadits ini diriwayatkan Al-Imam At-Tirmidzi di dalam Sunan beliau no.
2681, Ahmad di dalam Musnad-nya (5/169), Ad-Darimi di dalam Sunan-nya
(1/98), Abu Dawud no. 3641, Ibnu Majah di dalam Muqaddimahnya dan
dishahihkan oleh Al-Hakim dan Ibnu Hibban. Asy-Syaikh Al-Albani
rahimahullah mengatakan: “Haditsnya shahih.” Lihat kitab Shahih Sunan
Abu Dawud no. 3096, Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 2159, Shahih Sunan Ibnu
Majah no. 182, dan Shahih At-Targhib, 1/33/68)
Asy-Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al-Madkhali mengatakan: “Kebijaksanaan
Allah atas makhluk-Nya dan kekuasaan-Nya yang mutlak atas mereka. Maka
barang siapa yang mendapat hidayah maka itu wujud fadhilah (keutamaan)
dari Allah dan bentuk rahmat-Nya. Barangsiapa yang menjadi tersesat,
maka itu dengan keadilan Allah dan hikmah-Nya atas orang tersebut.
Sungguh para pengikut nabi dan rasul menyeru pula sebagaimana seruan
mereka. Mereka itulah para ulama dan orang-orang yang beramal shalih
pada setiap zaman dan tempat, sebab mereka adalah pewaris ilmu para nabi
dan orang-orang yang berpegang dengan sunnah-sunnah mereka. Sungguh
Allah telah menegakkan hujjah melalui mereka atas setiap umat dan suatu
kaum dan Allah merahmati dengan mereka suatu kaum dan umat. Mereka
pantas mendapatkan pujian yang baik dari generasi yang datang sesudah
mereka dan ucapan-ucapan yang penuh dengan kejujuran dan doa-doa yang
barakah atas perjuangan dan pengorbanan mereka. Semoga Allah melimpahkan
rahmat-Nya atas mereka dan semoga mereka mendapatkan balasan yang lebih
dan derajat yang tinggi.” (Al-Manhaj Al-Qawim fi At-Taassi bi Ar-Rasul Al-Karim hal. 15)
Asy-Syaikh Shalih Fauzan mengatakan: “Kita
wajib memuliakan ulama muslimin karena mereka adalah pewaris para nabi,
maka meremehkan mereka termasuk meremehkan kedudukan dan warisan yang
mereka ambil dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta
meremehkan ilmu yang mereka bawa. Barangsiapa terjatuh dalam perbuatan
ini tentu mereka akan lebih meremehkan kaum muslimin. Ulama adalah orang
yang wajib kita hormati karena kedudukan mereka di tengah-tengah umat
dan tugas yang mereka emban untuk kemaslahatan Islam dan muslimin. Kalau
mereka tidak mempercayai ulama, lalu kepada siapa mereka percaya. Kalau
kepercayaan telah menghilang dari ulama, lalu kepada siapa kaum
muslimin mengembalikan semua problem hidup mereka dan untuk menjelaskan
hukum-hukum syariat, maka di saat itulah akan terjadi kebimbangan dan
terjadinya huru-hara.” (Al-Ajwibah Al-Mufidah, hal. 140)
Ulama Pelita dalam Kegelapan
Waktu
senantiasa mengikuti perjalanan umat manusia. Termasuk di dalamnya
adalah umat Islam, yang kini telah sampai pada perjalanan yang demikian
panjang. Hari demi hari, minggu berganti bulan dan bulan berganti tahun,
jarak antara mereka dengan zaman risalah semakin jauh. Jarak antara
mereka dengan zaman keemasan umat ini telah demikian panjang, sehingga
kualitas mereka dengan kualitas umat yang hidup di masa keemasan itu pun
demikian jauh berbeda. Sungguh, melihat keadaan umat ini sekarang,
benar-benar membuat hati pilu dan dada sesak.
Kebodohan
demikian merajalela, para ulama Rabbani semakin langka, dan semakin
banyaknya orang bodoh yang berambisi untuk menjadi ulama. Keadaan ini
merupakan peluang besar bagi pelaku kesesatan untuk menjerumuskan umat
ke dalam kebinasaan.
Dulu,
di saat ilmu agama menguasai peradaban manusia dan ulama terbaik umat
memandu perjalanan hidup mereka, para pelaku kesesatan dan kebatilan
seolah-olah tersembunyi di balik batu yang berada di puncak gunung dalam
suasana malam yang gelap gulita. Namun ketika para penjahat agama
tersebut melihat peluang, mereka pun dengan sigap memanfaatkan peluang
tersebut, turun dari tempat “pertapaan” mereka dan menampilkan diri
seakan-akan mereka adalah para “penasihat yang terpercaya.”
Sekarang
adalah waktu yang tepat bagi mereka untuk mengobrak-abrik kekuatan dan
keyakinan kaum muslimin. Mereka menggelar permainan cantik, saling
mengoper kesesatan mereka. Kaum muslimin yang mayoritas kini berada
dalam keterlenaan, menjadi mangsa yang empuk buat mereka. Satu demi satu
sampai akhirnya menjadi banyak, gugur dalam amukan kesesatan tersebut.
Para guru dengan merasa aman menggandeng tangan murid-muridnya menuju
kegagalan hidup. Sementara orang tua dengan bangga melihat anaknya
berjalan di tepi jurang menuju kehancuran dan kebinasaan.
Di
masa-masa sekarang ini, gambaran kebenaran menjadi kejahatan yang harus
dilabrak dan dihanguskan, sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjadi bid’ah yang harus di kubur dan dimumikan. Tauhid menjadi
lambang kesyirikan yang harus ditumbangkan dengan segala cara. Situasi
dan kondisi kini telah berubah. Para pengikut kebenaran menjadi asing di
tengah-tengah kaum muslimin. Kebatilan menjadi Al-Haq dan Al-Haq
menjadi batil, berikut terasingnya orang yang bertauhid dan mengikuti
sunnah. Di sinilah letak ‘kehebatan’ para penyesat dalam mengubah
kebenaran hakekat agama, sehingga kaum muslimin menjalankan agama ini
bagaikan robot yang berjalan membawa anggota badannya.
Namun
Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Penyayang terhadap hamba-hamba-Nya dan
tidak akan membiarkan para pelaku dan penyebar kesesatan itu merusak
agama dan menyesatkan mereka secara menyeluruh. Allah Subhanahu wa
Ta’ala telah berjanji di dalam Kitab-Nya dan di dalam Sunnah Rasul-Nya
untuk menjaga agama-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْناَ الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لحَاَفِظُوْنَ
“Sesungguhnya Kami yang telah menurunkan Ad-Dzikri (Al-Qur’an) dan Kami pula yang menjagannya.” (Al-Hijr: 9)
يُرِيْدُوْنَ لِيُطْفِئُوا نُوْرَ اللهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللهُ مُتِمُّ نُوْرِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ
“Mereka berkeinginan memadamkan cahaya (Agama) Allah dan Allah tetap akan menyempurnakannya walaupun orang-orang kafir itu benci.” (Ash-Shaff: 8)
هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُوْلَهُ بِالْهُدَى وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُوْنَ
“Dia-lah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan agama yang benar untuk Allah menangkan atas seluruh agama.” (Ash-Shaff: 9)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan kepada Khabbab bin Art radhiallahu ‘anhu:
وَاللهِ
لَيُتِمَّنَّ اللهُ هَذَا اْلأَمْرَ حَتَّى يَسِيْرَ الرَّاكِبُ مِنْ
صَنْعاَءَ إِلَى حَضْرَمَوْتَ لاَ يَخاَفُ إِلاَّ اللهَ وَالذِّئْبَ عَلَى
غَنَمِهِ وَلَكِنَّكُمْ تَسْتَعْجِلُوْنَ
“Demi
Allah, Allah akan benar-benar menyempurnakan urusan-Nya (agama)
sehingga orang yang berkendaraan dari Shan’a1 menuju Hadhramaut (Yaman)
tidak takut melainkan hanya kepada Allah atau kepada serigala yang akan
menerkam kambingnya, akan tetapi kalian tergesa-gesa.” (HR. Al-Bukhari)
Bentuk pemeliharaan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap agama-Nya
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan: “Segala
puji bagi Allah, tidaklah seseorang melakukan kebid’ahan melainkan
Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan pemberian nikmat-Nya membangkitkan
orang yang akan membongkar kebid’ahan tersebut dan akan melumatkan
dengan kebenaran. Dan ini merupakan perwujudan dari firman-Nya:
“Sesungguhnya Kami yang telah menurunkan Adz-Dzikr dan Kami pula yang
akan menjaganya.” Inilah bentuk pemeliharaan Allah terhadapnya.” (Syarh Al-’Aqidah Al-Wasithiyyah, hal. 25)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ يَبْعَثُ فِيْ هَذِهِ اْلأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهاَ دِيْنَهاَ
“Sesungguhnya Allah akan membangkitkan di setiap awal seratus tahun orang yang akan memperbaharui agama umat ini.”
(HR. Abu Dawud dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu,
dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 1874)
Dari
sini diketahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menjaga kemurniaan
agama-Nya dari rongrongan para perusak agama dengan mengangkat ulama
pada tiap generasi yang akan menjadi pembimbing umat ini.
Abu Muslim Al-Khaulani rahimahullah mengatakan: “Ulama
di muka bumi ini bagaikan bintang-bintang di langit. Apabila muncul,
manusia akan diterangi jalannya dan bila gelap manusia akan mengalami
kebingungan.” (Tadzkiratus Sami’, hal 34)
Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullah mengatakan: “Telah
sampai kepada kami bahwa Abu Dawud adalah termasuk ulama dari
ulama-ulama yang mengamalkan ilmunya sehingga sebagian imam mengatakan
bahwa Abu Dawud serupa dengan Ahmad bin Hanbal dalam hal bimbingan dan
kewibawaan. Dalam hal ini Ahmad menyerupai Waki’, dalam hal ini pula
Waki’ menyerupai Sufyan dan Sufyan menyerupai Manshur dan Manshur
menyerupai Ibrahim, Ibrahim serupa dengan ‘Alqamah dan ‘Alqamah dengan
Abdullah bin Mas’ud. ‘Alqamah berkata: “Ibnu Mas’ud menyerupai
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bimbingan dan arahannya.” (Tadzkiratul Huffadz, 2/592, lihat Wujub Irtibath bil ‘Ulama karya Hasan bin Qashim Ar-Rimi)
Dalam
setiap generasi dan jaman, Allah Subhanahu wa Ta’ala memilih sejumlah
orang yang dikehendaki-Nya sebagai pelita dan lentera kegelapan dan
perahu dalam mangarungi lautan yang diliputi guncangan ombak dahsyat
sebagai tali penghubung antara diri-Nya dengan para hamba-Nya. Sebagai
penunjuk jalan dan pemandu dalam perjalanan setiap insan menuju Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Mereka adalah ulama.
Kedudukan Ulama
Permbahasan
ulama, kedudukan mereka dalam agama berikut di hadapan umat, merupakan
permasalahan yang menjadi bagian dari agama. Mereka adalah orang-orang
yang menjadi penyambung umat dengan Rabbnya, agama dan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah sederetan orang yang akan
menuntun umat kepada cinta dan ridha Allah, menuju jalan yang dirahmati
yaitu jalan yang lurus. Oleh karena itu ketika seseorang melepaskan diri
dari mereka berarti dia telah melepaskan dan memutuskan tali yang kokoh
dengan Rabbnya, agama dan Rasul-Nya. Ini semua merupakan malapetaka
yang dahsyat yang akan menimpa individu ataupun sekelompok orang Islam.
Berarti siapapun atau kelompok mapapun yang mengesampingkan ulama pasti
akan tersesat jalannya dan akan binasa.
Al-Imam Al-Ajurri rahimahullah dalam muqaddimah kitab Akhlaq Al-Ulama mengatakan: “Amma
ba’du, sesungguhnya Allah dengan nama-nama-Nya yang Maha Suci telah
mengkhususkan beberapa orang dari makhluk yang dicintai-Nya lalu
menunjuki mereka kepada keimanan. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala
juga memilih dari seluruh orang-orang yang beriman yaitu orang-orang
yang dicintai-Nya dan setelah itu memberikan keutamaan atas mereka dan
mengajarkan kepada mereka Al-Kitab (Al-Qur’an) dan As-Sunnah,
mengajarkan kepada mereka ilmu agama dan tafsir Al-Qur’an yang jelas.
Allah Subhanahu wa Ta’ala utamakan mereka di atas seluruh orang-orang
yang beriman pada setiap jaman dan tempat.
Allah
Subhanahu wa Ta’ala mengangkat mereka dengan ilmu, menghiasi mereka
dengan sikap kelemahlembutan. Dengan keberadaan mereka, diketahui yang
halal dan haram, yang hak dan yang batil, yang mendatangkan mudharat
dari yang mendatangkan manfaat, yang baik dan yang jelek. Keutamaan
mereka besar, kedudukan mereka mulia. Mereka adalah pewaris para nabi
dan pemimpin para wali. Semua ikan yang ada di lautan memintakan ampun
buat mereka, malaikat dengan sayap-sayapnya menaungi mereka dan tunduk.
Para ulama pada hari kiamat akan memberikan syafa’at setelah para Nabi,
majelis-majelis mereka penuh dengan ilmu dan dengan amal-amal mereka
menegur orang-orang yang lalai.
Mereka
lebih utama dari ahli ibadah dan lebih tinggi derajatnya daripada
orang-orang zuhud. Hidup mereka merupakan harta ghanimah bagi umat dan
mati mereka merupakan musibah. Mereka mengingatkan orang-orang yang
lalai, mengajarkan orang-orang yang jahil. Tidak pernah terlintas bahwa
mereka akan melakukan kerusakan dan tidak ada kekhawatiran mereka akan
membawa menuju kebinasaan. Dengan kebagusan adab mereka, orang-orang
yang bermaksiat terdorong untuk menjadi orang yang taat. Dan dengan
nasihat mereka, para pelaku dosa bertaubat.
Seluruh
makhluk butuh kepada ilmu mereka. Orang yang menyelisihi ucapan mereka
adalah penentang, ketaatan kepada mereka atas seluruh makhluk adalah
wajib dan bermaksiat kepada mereka adalah haram. Barangsiapa yang
mentaati mereka akan mendapatkan petunjuk, dan barang siapa yang
memaksiati mereka akan sesat. Dalam perkara-perkara yang rancu, ucapan
para ulama merupakan landasan mereka berbuat. Dan kepada pendapat mereka
akan dikembalikan segala bentuk perkara yang menimpa pemimpin-pemimpin
kaum muslimin terhadap sebuah hukum yang tidak mereka ketahui. Maka
dengan ucapan ulama pula mereka berbuat dan kepada pendapat ulama mereka
kembali.
Segala
perkara yang menimpa para hakim umat Islam maka dengan hukum para
ulama-lah mereka berhukum, dan kepada ulama-lah merekalah kembali. Para
ulama adalah lentera hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala, lambang2
sebuah negara, lambang kekokohan umat, sumber ilmu dan hikmah, serta
mereka adalah musuh syaithan. Dengan ulama akan menjadikan hidupnya hati
para ahli haq dan matinya hati para penyeleweng. Keberadaan mereka di
muka bumi bagaikan bintang-bintang di langit yang akan bisa menerangi
dan dipakai untuk menunjuki jalan dalam kegelapan di daratan dan di
lautan. Ketika bintang-bintang itu redup (tidak muncul), mereka (umat)
kebingungan. Dan bila muncul, mereka (bisa) melihat jalan dalam
kegelapan.”
Dari
ucapan Al-Imam Al-Ajurri di atas jelas bagaimana kedudukan ulama dalam
agama dan butuhnya umat kepada mereka serta betapa besar bahayanya
meninggalkan mereka.
Dalil-dalil tentang keutamaan ilmu dan ulama
1. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجاَتٍ
“Allah mengangkat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberikan ilmu ke beberapa derajat.” (Al-Mujadalah: 11)
Ibnu
‘Abbas radhiallahu ‘anhu berkata: “(Kedudukan) ulama berada di atas
orang-orang yang beriman sampai 100 derajat, jarak antara satu derajat
dengan yang lain seratus tahun.” (Tadzkiratus Sami’, hal. 27)
2. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
شَهِدَ اللهُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ وَالْمَلاَئِكَةُ وَأُولُوا الْعِلْمِ قَائِماً بِالْقِصْطِ
“Allah
telah mempersaksikan bahwa tidak ada sesembahan yang benar melainkan
Dia dan para malaikat dan orang yang berilmu (ikut mempersaksikan)
dengan penuh keadilan.” (Ali ‘Imran: 18)
Al-Imam Badruddin rahimahullah berkata: “Allah
memulai dengan dirinya (dalam persaksian), lalu malaikat-malaikat-Nya,
lalu orang-orang yang berilmu. Cukuplah hal ini sebagai bentuk
kemuliaan, keutamaan, keagungan dan kebaikan (buat mereka).” (Tadzkiratus Sami’, hal 27)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah dalam Tafsir-nya mengatakan: “Di
dalam ayat ini terdapat penjelasan tentang keutamaan ilmu dan ulama
karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebut mereka secara khusus dari
manusia lain. Allah Subhanahu wa Ta’ala menggandengkan persaksian mereka
dengan persaksian diri-Nya dan malaikat-malaikat-Nya. Dan Allah
Subhanahu wa Ta’ala menjadikan persaksian mereka (ulama) sebagai bukti
besar tentang ketauhidan Allah Subhanahu wa Ta’ala, agama, dan
balasan-Nya. Dan wajib atas setiap makhluk menerima persaksian yang
penuh keadilan dan kejujuran ini. Dan dalam kandungan ayat ini pula
terdapat pujian kepada mereka (ulama) bahwa makhluk harus mengikuti
mereka dan mereka (para ulama) adalah imam-imam yang harus diikuti.
Semua ini menunjukkan keutamaan, kemuliaan dan ketinggian derajat
mereka, sebuah derajat yang tidak bisa diukur.” (Tafsir As-Sa’di, hal 103).
Al-Qurthubi rahimahullah dalam Tafsir-nya mengatakan: “Di
dalam ayat ini ada dalil tentang keutamaan ilmu dan kemuliaan ulama.
Maka jika ada yang lebih mulia dari mereka, niscaya Allah akan
menggandengkan nama mereka dengan nama–Nya dan nama
malaikat-malaikat-Nya sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala
menggandengkan nama ulama.” (Tafsir Al-Qurthubi, 2/27)
3. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلْ هَلْ يَسْتَوِى الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لاَ يَعْلَمُوْنَ
“Katakan (wahai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) apakah sama antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu.” (Az-Zumar: 9)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Allah
Subhanahu wa Ta’ala menafikan unsur kesamaan antara ulama dengan selain
mereka sebagaimana Allah menafikan unsur kesamaan antara penduduk surga
dan penduduk neraka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Katakan,
tidaklah sama antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak
berilmu.” (Az-Zumar: 9), sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Tidak akan sama antara penduduk neraka dan penduduk surga.” (Al-Hasyr:
20). Ini menunjukkan tingginya keutamaan ulama dan kemuliaan mereka.” (Miftah Dar As-Sa’adah, 1/221)
4. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ
“Maka bertanyalah kalian kepada ahli dzikir (ahlinya/ ilmu) jika kalian tidak mengetahui.” (An-Naml: 43)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah dalam Tafsir-nya mengatakan: “Sesungguhnya
Allah telah memerintahkan kepada siapa saja yang tidak mengetahui untuk
kembali kepada mereka (ulama) dalam segala hal. Dan dalam kandungan
ayat ini, terdapat pujian terhadap ulama dan rekomendasi untuk mereka
dari sisi di mana Allah memerintahkan untuk bertanya kepada mereka.” (Tafsir As-Sa’di, hal. 394)
5. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا يَعْقِلُهَا إِلاَّ الْعَالِمُوْنَ
“Dan tidak ada yang mengetahuinya (perumpamaan-perumpamaan yang dibuat oleh Allah) melainkan orang-orang yang berilmu.” (Al-’Ankabut: 43)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah dalam Tafsir-nya mengatakan: “Melainkan orang-orang yang berilmu secara benar di mana ilmunya sampai ke lubuk hatinya.” (Tafsir As-Sa’di, hal 581)
6. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمآءُ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah dari hamba-hamba-Nya hanyalah ulama.” (Fathir: 28)
Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu mengatakan: “Sesungguhnya
aku mengira bahwa terlupakannya ilmu karena dosa, kesalahan yang
dilakukan. Dan orang alim itu adalah orang yang takut kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala.” (Ta’liq kitab Tadzkiratus Sami’, hal. 28)
Abdurrazaq mengatakan: “Aku
tidak melihat seseorang yang lebih bagus shalatnya dari Ibnu Juraij.
Dan ketika melihatnya, aku mengetahui bahwa dia takut kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala.” (Ta’liq kitab Tadzkiratus Sami’, hal 28)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Allah
Subhanahu wa Ta’ala memberitakan bahwa mereka (para ulama) adalah
orang-orang yang takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahkan Allah
Subhanahu wa Ta’ala mengkhususkan mereka dari mayoritas orang. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah
dari hamba-hamba-Nya adalah ulama, sesungguhnya Allah Maha Mulia lagi
Maha Pengampun.” (Fathir: 28). Ayat ini merupakan pembatasan bahwa orang yang takut kepada Allah adalah ulama.” (Miftah Dar As-Sa’adah 1/225)
7. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
جَزَاؤُهُمْ
عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا اْلأَنْهَارُ
خَالِدِيْنَ فِيْهَا أَبَدًا رَضِيَ اللهً عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ذَلِكَ
لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ
“Ganjaran
mereka di sisi Allah adalah jannah Adn yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai dan mereka kekal di dalamnya. Allah meridhai mereka dan
mereka ridha kepada Allah, demikian itu adalah bagi orang yang takut
kepada Rabbnya.” (Al-Bayyinah: 8)
Badruddin Al-Kinani rahimahullah berkata: “Kedua
ayat ini (Fathir ayat 28 dan Al-Bayyinah ayat 8) mengandung makna bahwa
ulama adalah orang-orang yang takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dan orang-orang yang takut kepada Allah adalah sebaik-baik manusia. Dari
sini disimpulkan bahwa ulama adalah sebaik-baik manusia.” (Tadzkiratus Sami’ hal. 29)
Ucapan yang serupa dan semakna dibawakan oleh Ibnul Qayyim t dalam kitabnya Miftah Dar As-Sa’adah, jilid 1 hal. 225.
8. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ
“Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah untuk mendapatkan kebaikan, maka Allah akan mengajarkannya ilmu agama.”
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan: “Hadits
ini menunjukkan, barangsiapa yang tidak dijadikan Allah faqih dalam
agama-Nya, menunjukkan bahwa Allah tidak mengijinkan kepadanya kebaikan.” (Miftah Dar As-Sa’adah, 1/246)
9. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْعُلُمَاءُ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ
“Ulama adalah pewaris para nabi.” (HR At-Tirmidzi dari Abu Ad-Darda radhiallahu ‘anhu)
Badruddin Al-Kinani rahimahullah mengatakan: “Cukup
derajat ini menunjukkan satu kebanggaan dan kemuliaan. Dan martabat ini
adalah martabat yang tinggi dan agung. Sebagaimana tidak ada kedudukan
yang tinggi daripada kedudukan nubuwwah, begitu juga tidak ada kemuliaan
di atas kemuliaan pewaris para nabi.” (Tadzkiratus Sami’ hal. 29)
Dan masih banyak dalil-dalil yang menjelaskan tentang kedudukan mereka dalam agama dan peran mereka dalam kehidupan umat.
Wallahu a’lam.
1
Sebagian ulama mengatakan bahwa yang dimaksud adalah Shan’a di Syam,
dan sebagian yang lain mengatakan Shan’a di Yaman. Adapun Ibnu Hajar
menguatkan pendapat yang kedua, yaitu yang dimaksud adalah Shan’a di
Yaman.
Sumber : http://asysyariah.com
Redaksi ISBAD
Share