Ini yang selalu terjadi menjelang perayaan Natal.
Pengamanan gereja diperketat. Tim gegana diterjunkan utuk memyusuri
setiap sudut ruangan demi memastikan tidak ada bom di dalamnya. Dan saat
perayaan Natal berlangsung, jumlah polisi pengamanan ditingkatkan.
Bahkan, organisasi pemuda Islam pun siap siaga melakukan pengamanan.
Apa yang ditakutkan? Katanya, ini demi menjaga dari kemungkinan serangan teroris.
Siapa teroris yang dimaksud? Ya, tentu saja umat Islam yang dituduh teroris.
Tapi, tuduhan itu sama sekali tak terbukti. Tak ada
serangan terhadap gereja. Tak ada pembakaran gereja. Tak ada larangan
mereka berhari raya.
Bandingkan dengan apa yang terjadi di Papua. Gereja
berkirim surat, melarang umat Islam berhari raya. Situasi ini jelas
merupakan ancaman nyata. Tetapi, tidak ada pengawalan polisi, meski
surat itu ditembuskan pada mereka. Tidak ada pula, tim gegana
diterjunkan. Apalagi organisasi pemuda Islam membantu pengamanan? Sama
sekali tidak ada.
Tapi, teror justru terjadi. Masjid dibakar saat umat Islam
sedang sholat hari raya. Bukan hanya masjid, bahkan rumah dan ruko milik
warga muslim juga dibakar.
Lalu, apa reaksi pemerintah?
Alih-alih memberi instruksi penangkapan pelaku teror,
pemimpin negeri muslim terbesar ini justru menyalahlan speaker masjid
sebagai biang pembakaran. Media mainstream juga idem. Bukannya mengutuk
gereja sebagai pelakunya, mereka justru sibuk meminta umat Islam menahan
diri, agar tidak melakukan aksi pembalasan.
Benar-benar sebuah ironi yang memilukan. Stempel teroris
justru disematkan ke diri kaum muslimin, yang faktanya tidak melakukan
tindakan teror. Dan mereka yang nyata-nyata melakukan aksi teror justru
dilindungi, hanya karena pelakunya bukan muslim.
Sumber : M. Ihsan Abdul Djalil
Posting Ulang : rully@tempo.co.id
Posting Ulang : rully@tempo.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar