Tiada teladan yang lebih baik
dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, sahabat-sahabat, dan generasi
setelahnya. Merekalah sosok yang mewakafkan diri kepada Allah Ta’ala.
Dia telah menukar kehidupan dunia yang fana dan hina untuk akhirat yang
abadi, surga penuh kenikmatan, dan ridha Allah Ta’ala.
Maka hampir setiap detail kehidupan yang
dikerjakannya, selalu ada hikmah yang banyak untuk semua generasi. Pun,
terkait hal-hal yang nampak remeh dalam kaca mata manusia yang bodoh dan
banyak dosa seperti kita.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
yang fenomenal itu, meski beliau seorang kepala negara, terjamin surga,
dan senantiasa diampuni dosa masa lalu dan terhindar dari dosa yang akan
datang; saat di rumah terbiasa membantu melakukan pekerjaan rumahan.
Beliau menambal dan menjahit pakaian,
memenuhi keperluan diri, bahkan tak enggan atau malu-malu untuk membantu
pekerjaan rumah tangga guna meringankan pekerjaan istri-istrinya dan
sebagai salah satu ekspresi cintanya.
Demikian juga dengan para sahabatnya,
tanpa terkecuali. Mereka terbiasa melakukan hal-hak yang nampak kecil,
tapi berdampak besar dalam kehidupan kaum muslimin, bahkan mengandung
kemanfaatan yang besar dalam proses perjalanan spiritual seorang hamba.
Teladan yang lain, salah atunya adalah
yang biasa dilakukan oleh ‘Abdullah bin ‘Umar. Disebutkan oleh Ibnu
Sirrin sebagaimana dikutip oleh Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyah,
“’Abdullah bin ‘Umar sering bercermin dan selalu membawa cermin dalam
setiap perjalannnya.”
Lalu, Ibnu Sirrin pun bertanya, “Untuk apa cermin itu?”
Apakah untuk berdandan? Ataukah supaya
nampak selalu rapi dan memesona jika dilihat oleh sahabat yang lain?
Ataukah iseng tanpa tujuan sebab cermin itu-misalnya-memang sengaja
ditaruh di tas yang dibawa agar tidak tertinggal?
Rupanya, manfaatnya jauh lebih baik dari
urusan dunia atau hal remeh lainnya. Meski yang dibawa hanya cermin,
‘Abdullah bin ‘Umar memaknaninya dengan sebuah niat dan perbuatan yang
berdampak pada akhirat yang abadi.
“Aku,” tutur ‘Abdullah bin ‘Umar
menjelaskan, “ingin melihat apa yang ada di wajahku sebagai hiasan.”
Selain menganggap yang diwajahnya sebagai hiasan semata, “Sedangkan
(aku) di wajah orang lain sebagai cacat.”
Maknanya, sebaik apa pun hiasan yang ada
di wajahnya, ‘Abdullah bin ‘Umar ingin menganggapnya dipandang orang
lain sebagai cacat. Dengan demikian, selain semangat memperbaiki diri
dan tak merasa sombong, “Lalu aku memuji Allah Ta’ala atas hal ini.”
Makna lainnya, ‘Abdullah bin ‘Umar ingin
bersyukur atas karunia yang ada di wajahnya dan tidak ingin menganggap
wajah orang lain lebih baik sebab berbaik sangka kepada Allah; bahwa Dia
telah memberikan karunia terbaik di wajahnya.
Sumber : http://kisahikmah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar