Mengenal Kota Bukhara, Kota Kelahiran Imam Bukhari (1/2)
Bukhara adalah salah satu negeri dari negeri-negeri seberang sungai (bilad ma wara-u an-nahr).
Sungai apakah yang dimaksud? Sungai panjang yang mengairi negeri-negeri
Asia Tengah. Orang-orang Yunani menyebutnya Sungai Oxus. Orang Arab
mengenalnya dengan nama Jeyhun. Pujangga Persia memujanya dengan Mulyan.
Ada pula yang menamainya dengan Amu Darya, Sungai Amu, Panj, dan Vaksh.
Ya, Bukhara adalah sebuah kota yang terletak di Asia Tengah. Sebuah
kota kuno yang merupakan bagian dari Republik Uzbekistan sekarang. di
masa kejayaannya, kota ini menjadi salah satu pusat perekonomian negara
bekas jajahan Uni Soviet itu. Ia juga menjadi tempat belajar, pusat
kebudayaan, dan ilmu agama.
Luas Bukhara adalah 32% dari luas wilayah Uzbekistan. Dan kepadatan penduduknya 8,2% mewakili negara tersebut.
Peta Bukhara
Sejarah Perkembangan
Ada yang mengatakan, kota Bukhara dibangun oleh seorang pemimpin Iran
yang bernama Siyâvaš. Putra Raja Kaykaus. Siyâvaš lari dari kerajaan
karena sang ayah murka padanya. Kemudian ia menemui raja Kerajaan
at-Turk, Afrasiab. Raja at-Turk ini memuliakannya dan menikahkannya
dengan salah seorang putrinya. Kemudian memberinya sebuah wilayah
kekuasaan. Wilayah itulah yang saat ini kita kenal dengan Bukhara.
Siyâvaš membangun Bukhara. Kemudian setelah Bukhara kuat, ia berbalik menyerang dan membunuh Afrasiab.
Bukhara adalah salah satu kota penting di wilayah Khurasan. An-Narsyakhi, penulis kitab Tarikh Bukhara,
mengatakan, “Daerah Bukhara adalah wilayah padang belantara yang banyak
dihuni hewan buas. Dilewati oleh Sungai Zeravshan. Gunung-gunungnya
tinggi dengan puncak putih bersalju. Orang-orang datang ke daerah
tersebut karena segar dan bersihnya udaranya. Para penduduknya dipimpin
oleh seorang tetua”.
Sejak abad ke-5 M, orang-orang China menyebut wilayah ini dengan nama
Nome (Arab: نومي). Ada yang mengatakan, nama Bukhara diambil dari kata
Bakhr (Arab: بخر) dan padanan dalam Bahasa Sansekerta adalah Vihara,
yakni tempat ibadah. Dikatakan bahwa Bukhara dahulu adalah sebuah
wilayah peribadatan orang-orang Budha sebelum datangnya Islam.
Literatur-literatur berbahasa Arab menyebutkan bahwa penduduk asli
Bukhara adalah Bakhãr Khudat (Arab: بخار خداة) atau Bukhãra Khudãh
(Arab: بخارا خداه). Persitiwa-peristiwa penting di kota ini baru terjadi
setelah masuk ke dalam wilayah Islam.
Masuknya Islam di Bukhara
Sebelum Islam datang, penduduk Bukhara adalah orang-orang paganis
yang menyembah sebuah berhala yang bernama Makh. Mereka beribadah dan
memberi persembahan kepada berhala tersebut setahun sekali. Periwayat
sejarah sepakat bahwa orang Islam pertama yang melintasi pegunungan di
Bukhara adalah Ubaidullah bin Ziyad. Ia merupakan gubernur Daulah
Umayyah untuk wilayah Khurasan di masa pemerintahan Muawiyah bin Abi
Sufyan.
Saat memimpin Khurasan, usia Ubaidullah bin Ziyad masih sangat belia.
Baru 25 tahun. Penunjukkannya sebagai gubernur bukanlah sesuatu yang
gegabah. Di usianya yang ke-24 tahun saja, Ubaidullah telah mampu
mencapai Sungai Jeyhun. Dan saat itu Bukhara dipimpin oleh seorang janda
yang mereka agungkan dengan panggilan Khatun (Arab: خاتون). Ini adalah
sebutan dalam Bahasa Turk yang berarti sayyidah dalam Bahasa Arab.
Kemudian terjadi pertempuran antara Khatun berhadapan dengan kaum
muslimin. Karena kalah, Khatun meminta perjanjian damai dan jaminan
keamanan. Ubaidullah bin Ziyad mengabulkan permintaannya dan menerima
1juta dirham dari perjanjian damai tersebut. Kemudian Ubaidullah kembali
ke Bashrah.
Setelah itu, Muawiyah mengangkat Said bin Utsman bin Affan sebagai
wali daerah Khurasan. Ia memasuki wilayah Samarkand. Dan kemudian Khatun
menolongnya menghadapi penduduk Bukhara (Mu’jam al-Buldan oleh Yaqut
al-Hamawi: Dar ash-Shadr Cet.II. Hal. 354-355).
Pembebasan Bukhara oleh Qutaibah bin Muslim
Khalifah al-Walid bin Abdul Malik al-Umawi adalah pemimpin Arab
pertama yang melakukan pembangunan berkelanjutan di Bukhara. Berkat
kebijakannya –setelah takdir Allah ﷻ- Islam di Bukhara kokoh dan
tersebar. Hal itu juga berkat usaha gubernurnya di wilayah Irak, Hajjaj
bin Yusuf ats-Tsaqafi, yang memerintahkan Qutaibah bin Muslim al-Bahili
di Khurasan untuk membuka wilayah negeri seberang sungai.
Qutaibah berhasil membebaskan Bukhara pada tahun 90 H yang saat itu
dikuasai Wardan Khudãh. Meskipun bersama sekutunya dari orang-orang
Turk, Wardan tetap berhasil dikalahkan oleh Qutaibah. Kemudian Qutaibah
berhasil menaklukkan penguasa-penguasa Bukhara lainnya.
Daerah seberang sungai termasuk daerah yang sulit dikuasai secara
penuh. Awalnya, penduduknya memeluk Islam. Kemudian murtad dan melakukan
pemberontakan. Qutaibah mengambil pelajaran dari apa yang terjadi
sebelumnya. Setelah berhasil menaklukkan Bukhara, ia menempatkan
orang-orang Arab agar tetap tinggal dan membaur dengan masyarakat di
sana. Pendekatan yang dilakukan Qutaibah terbukti berhasil. Keislaman
penduduk Bukhara baik dan Islam pun kokoh di sana. Keadaan pun menjadi
stabil. Dengan stabilnya keadaan barulah pembangunan dapat berjalan.
Kota tua di Bukhara, menunjukkan begitu tingginya peradaban Bukhara di masa silam.
Qutaibah membangun istana-istana. ia juga membangun Masjid Jami’ di
dalam benteng Bukhara. Masjid tersebut menggeser tempat-berhala-berhala
di sana. Semakin banyak masyarakat yang memeluk Islam, semakin banyak
pula masjid dibangun. Hingga di masa Harun al-Rasyid masjid-masjid
dibangun di daerah-daerah perbatasan.
Kota Bukhara pun kian berkembang. Aktivitas perdagangan dan industri
kian menggeliat. Penduduknya kian makmur. Dan pendapatan daerahnya kian
meningkat. Hingga tokoh-tokoh besar terlahir dari wilayah ini. Di
antaranya Imam al-Bukhari yang lahir pada tanggal 13 Syawwal 194 H. Bukhara di Masa Daulah Samaniyah
Awalnya, Bukhara berada di bawah pemerintahan Khurasan. Keadaan ini
terus berlangsung hingga tahun 279 H/892 M. Saat Nashr bin Ahmad
as-Samani memimpin Samarkand, Bukhara masuk ke dalam wilayah Samarkand.
Adik Nashr yang bernama Ismail membangun Bukhara atas permintaan warga
dan para ulamanya. Saat Nashr wafat, adiknyalah yang menggantikannya
memerintah di negeri-negeri seberang sungai itu. Bukhara pun dijadikan
ibu kota Daulah Samaniyah. Ia menjadi pusat pendidikan dan industri.
Sitorai Mokhi-Khossa, salah satu monumen terindah di Bukhara.
Ats-Tsa’alabi memuji perkembangan pesat Bukhara. Ia mengatakan,
“Bukhara di masa Daulah Samaniyah adalah tempat yang terhormat dan
tumpuan raja. Ia juga tempat tokoh-tokoh di zamannya. Tempat lahirnya
bintang-bintang sastrawan dunia. Dan masa-masa yang penuh keutamaan…” (Yatimatu ad-Dahr fi Muhasin Ahli al-Ashr oleh Abu Manshur ats-Tsa’alabi: Tahqiq oleh Mufid Muhammad Qamhiyah: Cet.I Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut: 4/155).
Bukhara di Masa Pemerintahan Mongol
Setelah Daulah Samaniyah runtuh pada tahun 389 H/999 M, Bukhara
kehilangan peranan pentingnya dalam politik. Namun di masa
kemundurannya, ia tetap memegang peranan penting sebagai pusat kajian
Islam. Kemudian pada tahun 604 H/1207 M, kota kelahiran Imam Bukhari ini
diperintah oleh Alauddin Muhammad bin Taksy Khawarizm Syah. Ia
memperbarui Bukhara dan membangun kembali kota tersebut.
Dalam kurun perjalanannya, Bukhara mengalami masa pasang dan surut.
Masa suka dan duka. Sampai akhirnya musibah besar mendatangi dunia
Islam. Pasukan Tatar masuk ke wilayah Islam termasuk wilayah Bukhara.
Pada tanggal 4 Dzul Hijjah 616 H, Bukhara jatuh ke tangan pasukan
Jenghis Khan. Kota yang menjadi pusat ilmu negeri seberang sungai itu
dijarah dan dibakar. Tidak tersisa kecuali Masjid Jami’ dan sebagian
istana. Beruntungnya kerusakan parah itu bisa kembali pulih saat putra
Jenghis Khan, Ogedei Khan, menggantikan ayahnya memerintah Mongol.
Pada tahun 636 H, penduduk Bukhara melakukan perlawanan terhadap
Mongol. Akan tetapi perlawanan itu berhasil dipadamkan. Kemudian di
tahun 671 H/1273 M, bencana kembali melanda Bukhara. Pasukan Mongol
pimpinan Abaqa Khan –penguasa Mongol wilayah Persia- menguasai Bukhara.
Mereka melakukan pengrusakan dan mengusir penduduknya. Kemudian
dilakukan renovasi kembali. Namun anehnya, Mongol Persia kembali
melakukan pengrusakan untuk kedua kalinya pada tahun 761 H/1359 M. Dan
pada masa Dinasti Mongol Timuriyah, Bukhara tidak lagi memegang peranan
penting di wilayah seberang sungai.
Selanjutnya, insya Allah akan dibahas Bukhara di era modern. Negeri
seberang sungai dengan peradaban tinggi itu kini menjadi bagian
negeri-negeri berakhiran “Stan” bekas jajahan Uni Soviet. Mereka menjadi
wilayah miskin yang peradabannya hanyalah tinggal kenangan.
Sumber:
– islamstory.com/ar/
– https://bukhariyon.wordpress.com/2009/11/29/history-of-bukhara/ Oleh Nurfitri Hadi (@nfhadi07)
Artikel www.KisahMuslim.com Redaksi ISBAD
Tidak ada komentar:
Posting Komentar