Ilustrasi Gambar |
Rasulullah ﷺ bersabda,
Beberapa tulisan yang telah lalu, sering disinggung tentang kasih sayang dalam peperangan umat Islam. Bagaimana Islam menuntunkan perang bukanlah kecamuk benci dan dendam untuk menumpahkan darah orang. Terbukti dari minimalnya jumlah korban yang jatuh. Bagaimana Rasulullah ﷺ mengajarkan para sahabatnya bahwa perang bukanlah pentas bercucur darah. Terbukti beliau murka kepada Usamah yang menikam musuh mengucapkan kalimat tauhid saat terdesak. Tidak, tidak demikian. Islam menjadikan perang sebagai media penyampai hidayah. Karena Islam adalah rahmat bagian sekalian alam meskipun dalam peperangan.
Kasih sayang dan rahmat itu juga tetap berkelanjutan usai debu perang kembali ke tanahnya. Tawanan hasil perang diperlakukan dengan hormat tanpa hina. Mereka memasuki gerbang hidayah. Gulatan kabut tebal kabar buruk tentang Islam, sedikit demi sedikit sirna tertiup angin hidayah. Karena mereka tinggal di lingkungan kaum muslimin. Bermuamalah dan bercengkrama bersama umat ijabah. Menyaksikan praktik Islam dengan mata kepala.
Hadits Nabi ﷺ di atas sebagai bukti betapa mulia agama ini memperlakukan tawanan. Para ulama memaknai rantai-rantai tersebut adalah rantai peperangan. Orang-orang non-Islam masuk ke negeri Islam sebagai tawanan perang. Mereka menjadi budak menelan konsekuensi setelah kalah kala berperang.
Memang aneh jika dikatakan budak bisa menjadi mulia. Sebagaimana anehnya ada kasih dan sayang dalam perang. Namun memang begitu adanya, darah rusa bisa berharga menjadi misk kasturi saat pisah dari lingkungannya. Tahi ulat sutra menjadi kain yang mahal harganya kala tidak lagi bersama indungnya.
Di antara kisah nyata tentang agungnya perbudakan di dalam Islam adalah sebuah kisah yang disampaikan oleh Ustadz Riyadh bin Badr Bajrey dan kisah ini disampaikan juga Syaikh Abu Ishaq al-Huwainy dalam salah satu ceramahnya di televisi Mesir. Kisah dua orang perawi hadits bernama Hasan bin Shaleh (lahir tahun 100 H) dan Ali bin Shaleh yang tinggal bersama ibunya.
Dikisahkan bahwa dua orang periwayat hadits ini tinggal bersama ibunya. Dan Hasan memiliki seorang budak wanita yang pada awalnya adalah non-Islam, kemudian tinggal di masyarakat Islam dan melihat mulianya nilai-nilai Islam, ia pun memeluk Islam.
Tiga anggota keluarga ini memiliki kebiasaan yang istimewa. Mereka membagi malam menjadi tiga bagian untuk beribadah dan bermunajat kepada Allah ﷻ. Sepertiga malam pertama, ibu mereka mengisinya dengan shalat malam. Kemudian di pertengahan malam, gantian Ali yang menghidupkannya. Dan sepertiga yang terakhir giliran Hasan. Dengan demikian, malam hari di rumah ini begitu hidup dengan ibadah. Budak wanita milik Hasan bin Shaleh juga terpengaruh dengan kebiasaan baik tuannya. Ia pun terbiasa bangun menunaikan shalat malam.
Qadarullah.. ibu mereka terlebih dahulu wafat meninggalkan anak-anaknya. Setelah itu, Hasan dan Ali pun membagi malam menjadi dua bagian. Setengah bagian pertama Ali shalat bermunajat kepada Allah. Setengah bagian akhir, Hasan gentian menghidupkannya. Dan demikianlah keadaan berulang setiap malam di rumah tersebut hingga meninggalnya Ali bin Shaleh. Saat Ali tiada Hasan menghidupkan sepenuh malam itu tanpa ibu dan saudaranya.
Akhirnya tiba saat perpisahan dengan budak milik Hasan bin Shaleh. Ia menjual budaknya ke orang lain. Budak itu pun tinggal di rumah lainnya. Lingkungan baru yang belum ia kenal seperti apa rupanya.
Saat tinggal di rumah baru, di tengah malam, budak itu berteriak membangunkan seisi rumah karena demikian kebiasaan lamanya.
Ia berteriak, “Ya ahla ad-daar ash-shaalah… ash-shalaah…” (wahai penghuni rumah…shalat.. shalat..)
Tuan barunya berkata, “Awa-udzdzina lil fajr?” (Memangnya sudah adzan subuh?)
Sang budak sambal kaget berkata, “Awalam tusholluu illal fajr?” (Kalian ga shalat, kecuali cuma shalat subuh saja?)
Tuannya pun menjawab, “Na’am.” (Iya).
Keesokan harinya.. budak ini pun kembali mendatangi Hasan bin Shaleh. Kemudian ia berujar, “Ruddanii ilaik.. fainnaka bi’tani ila qaumi suu.. laa yaqumunal lail..” (Kembalikan aku padamu, sesungguhnya engkau telah menjualku kepada orang-orang yang buruk karena mereka tidak mau qiyamul lail..).
Perhatikanlah! Seorang budak yang awalnya kafir, kemudian mengenal Islam, dan bagus keislamannya karena tinggal di lingkungan Islam. Inilah buah dari kasih sayang peperangan dalam Islam yaitu perbudakan. Dan inilah perbudakan yang menjadikan seorang non-Islam menjadi mulia.
Ketika seorang non muslim tinggal di negeri mayoritas non Islam, ia hanya akan menerima kabar-kabar buruk tentang Islam dari lingkungan dan media yang ada di sana. Di dunia ia tidak terbebas dari perbudakan kepada makhluk dalam peribadatan. Kemudian di akhirat ia pun kekal di dalam neraka.
Sementara dengan perang sebagaimana yang Islam ajarkan. Seorang non muslim bisa jadi menjadi budak dalam kehidupan dunia di masyarakat Islam. Akan tetapi ia tidak dizalimi. Bahkan Rasulullah ﷺ memotivasi umatnya untuk membebaskan budak. Beliau ﷺ bersabda,
Beliau ﷺ juga bersabda,
Dan Islam melarang bersikap buruk terhadap budak, menghinakan dan melecehkannya sebagai budak.
Nabi ﷺ bersabda,
Pelajaran:
www.KisahMuslim.com
Redaksi ISBAD
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: عجب الله من قوم يدخلون الجنة في السلاسل.
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda, “Allah
takjub dengan suatu kaum, yang masuk ke dalam surga dengan
rantai-rantai.” (HR. Bukhari, No. 2848).Beberapa tulisan yang telah lalu, sering disinggung tentang kasih sayang dalam peperangan umat Islam. Bagaimana Islam menuntunkan perang bukanlah kecamuk benci dan dendam untuk menumpahkan darah orang. Terbukti dari minimalnya jumlah korban yang jatuh. Bagaimana Rasulullah ﷺ mengajarkan para sahabatnya bahwa perang bukanlah pentas bercucur darah. Terbukti beliau murka kepada Usamah yang menikam musuh mengucapkan kalimat tauhid saat terdesak. Tidak, tidak demikian. Islam menjadikan perang sebagai media penyampai hidayah. Karena Islam adalah rahmat bagian sekalian alam meskipun dalam peperangan.
Kasih sayang dan rahmat itu juga tetap berkelanjutan usai debu perang kembali ke tanahnya. Tawanan hasil perang diperlakukan dengan hormat tanpa hina. Mereka memasuki gerbang hidayah. Gulatan kabut tebal kabar buruk tentang Islam, sedikit demi sedikit sirna tertiup angin hidayah. Karena mereka tinggal di lingkungan kaum muslimin. Bermuamalah dan bercengkrama bersama umat ijabah. Menyaksikan praktik Islam dengan mata kepala.
Hadits Nabi ﷺ di atas sebagai bukti betapa mulia agama ini memperlakukan tawanan. Para ulama memaknai rantai-rantai tersebut adalah rantai peperangan. Orang-orang non-Islam masuk ke negeri Islam sebagai tawanan perang. Mereka menjadi budak menelan konsekuensi setelah kalah kala berperang.
Memang aneh jika dikatakan budak bisa menjadi mulia. Sebagaimana anehnya ada kasih dan sayang dalam perang. Namun memang begitu adanya, darah rusa bisa berharga menjadi misk kasturi saat pisah dari lingkungannya. Tahi ulat sutra menjadi kain yang mahal harganya kala tidak lagi bersama indungnya.
Di antara kisah nyata tentang agungnya perbudakan di dalam Islam adalah sebuah kisah yang disampaikan oleh Ustadz Riyadh bin Badr Bajrey dan kisah ini disampaikan juga Syaikh Abu Ishaq al-Huwainy dalam salah satu ceramahnya di televisi Mesir. Kisah dua orang perawi hadits bernama Hasan bin Shaleh (lahir tahun 100 H) dan Ali bin Shaleh yang tinggal bersama ibunya.
Dikisahkan bahwa dua orang periwayat hadits ini tinggal bersama ibunya. Dan Hasan memiliki seorang budak wanita yang pada awalnya adalah non-Islam, kemudian tinggal di masyarakat Islam dan melihat mulianya nilai-nilai Islam, ia pun memeluk Islam.
Tiga anggota keluarga ini memiliki kebiasaan yang istimewa. Mereka membagi malam menjadi tiga bagian untuk beribadah dan bermunajat kepada Allah ﷻ. Sepertiga malam pertama, ibu mereka mengisinya dengan shalat malam. Kemudian di pertengahan malam, gantian Ali yang menghidupkannya. Dan sepertiga yang terakhir giliran Hasan. Dengan demikian, malam hari di rumah ini begitu hidup dengan ibadah. Budak wanita milik Hasan bin Shaleh juga terpengaruh dengan kebiasaan baik tuannya. Ia pun terbiasa bangun menunaikan shalat malam.
Qadarullah.. ibu mereka terlebih dahulu wafat meninggalkan anak-anaknya. Setelah itu, Hasan dan Ali pun membagi malam menjadi dua bagian. Setengah bagian pertama Ali shalat bermunajat kepada Allah. Setengah bagian akhir, Hasan gentian menghidupkannya. Dan demikianlah keadaan berulang setiap malam di rumah tersebut hingga meninggalnya Ali bin Shaleh. Saat Ali tiada Hasan menghidupkan sepenuh malam itu tanpa ibu dan saudaranya.
Akhirnya tiba saat perpisahan dengan budak milik Hasan bin Shaleh. Ia menjual budaknya ke orang lain. Budak itu pun tinggal di rumah lainnya. Lingkungan baru yang belum ia kenal seperti apa rupanya.
Saat tinggal di rumah baru, di tengah malam, budak itu berteriak membangunkan seisi rumah karena demikian kebiasaan lamanya.
Ia berteriak, “Ya ahla ad-daar ash-shaalah… ash-shalaah…” (wahai penghuni rumah…shalat.. shalat..)
Tuan barunya berkata, “Awa-udzdzina lil fajr?” (Memangnya sudah adzan subuh?)
Sang budak sambal kaget berkata, “Awalam tusholluu illal fajr?” (Kalian ga shalat, kecuali cuma shalat subuh saja?)
Tuannya pun menjawab, “Na’am.” (Iya).
Keesokan harinya.. budak ini pun kembali mendatangi Hasan bin Shaleh. Kemudian ia berujar, “Ruddanii ilaik.. fainnaka bi’tani ila qaumi suu.. laa yaqumunal lail..” (Kembalikan aku padamu, sesungguhnya engkau telah menjualku kepada orang-orang yang buruk karena mereka tidak mau qiyamul lail..).
Perhatikanlah! Seorang budak yang awalnya kafir, kemudian mengenal Islam, dan bagus keislamannya karena tinggal di lingkungan Islam. Inilah buah dari kasih sayang peperangan dalam Islam yaitu perbudakan. Dan inilah perbudakan yang menjadikan seorang non-Islam menjadi mulia.
Ketika seorang non muslim tinggal di negeri mayoritas non Islam, ia hanya akan menerima kabar-kabar buruk tentang Islam dari lingkungan dan media yang ada di sana. Di dunia ia tidak terbebas dari perbudakan kepada makhluk dalam peribadatan. Kemudian di akhirat ia pun kekal di dalam neraka.
Sementara dengan perang sebagaimana yang Islam ajarkan. Seorang non muslim bisa jadi menjadi budak dalam kehidupan dunia di masyarakat Islam. Akan tetapi ia tidak dizalimi. Bahkan Rasulullah ﷺ memotivasi umatnya untuk membebaskan budak. Beliau ﷺ bersabda,
إِتَّقُوااللهَ فِيْمَا مَامَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
“Bertaqwalah kalian kepada Allah dan perhatikanlah budak-budak yang kalian miliki.” (Shahihul Jami’ no. 106, al-Irwa’ no. 2178).Beliau ﷺ juga bersabda,
لِلْمَمْلُوكِ طَعَامُهُ وَكِسْوَتُهُ وَلاَ يُكَلَّفُ مِنَ الْعَمَلِ إِلاَّ مَا يُطِيقُ
“Budak memiliki hak makan/lauk dan makanan pokok, dan tidak boleh
dibebani pekerjaan di luar kemampuannya.” (HR. Muslim, Ahmad, dan
al-Baihaqi).Dan Islam melarang bersikap buruk terhadap budak, menghinakan dan melecehkannya sebagai budak.
Nabi ﷺ bersabda,
وَلاَ يَقُلْ أَحَدُكُمْ عَبْدِي وَ أَمَتِي وَلْيَقُلْ فَتَايَ وَفَتَاتِي
“Janganlah salah seorang diantara kalian mengatakan: Hai hamba
laki-lakiku, hai hamba perempuanku, akan tetapi katakanlah : Hai
pemudaku (laki-laki), hai pemudiku (perempuan).” (HR. Bukhari No. 2552
dan Muslim No. 2449).Pelajaran:
- Peperangan dalam Islam adalah rahmat bagi sekalian alam karena ia termasuk di anatara jalan hidayah dan surga.
- Perbudakan dalam Islam jauh berbeda dari perbudakan ala Barat.
- Perbudakan adalah realita yang terjadi dan kembali akan terjadi. Dan Islam telah siap dengan aturannya tentang roda perputara dan perubahan keadaan hidup manusia di muka bumi. Hal ini membuktikan Islam adalah agama paripurna.
- Salaf ash-shaleh menganggap aib bagi seseorang yang tidak mengerjakan shalat malam.
www.KisahMuslim.com
Redaksi ISBAD
Tidak ada komentar:
Posting Komentar