Kantor Kementriam Agama RI |
Kalau pada masa penjajahan Belanda urusan agama ditangani berbagai instansi atau kementerian, pada masa kemerdekaan masalah-masalah agama secara resmi diurus satu lembaga yaitu Departemen Agama. Keberadaan Departemen Agama dalam struktur pemerintah Republik Indonesia melalui proses panjang. Sebagai bagian dari pemerintah negara Republik Indonesia; Kementerian Agama didirikan pada 3 Januari 1946. Dasar hukum pendirian ini adalah Penetapan Pemerintah tahun 1946 Nomor I/SD tertanggal 3 Januari 1946.
Apabila pada zaman penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang
masalah-masalah Agama, terutama Islam, menjadi bagian dari pemerintahan
penjajah, maka wajar dan dapat dipahami jika umat Islam pada masa
kemerdekaan menuntut adanya lembaga yang secara khusus menangani
masalah-masalah agama dalam bentuk Kementerian Agama.
Mohammad Yamin adalah orang yang mula-mula mengusulkan dalam salah
satu sidang BPUPKI agar pemerintah Republik Indonesia, di samping
mempunyai kementerian pada umumnya, seperti luar negeri, dalam negeri,
keuangan, dan sebagainya, membentuk juga beberapa kementerian negara
yang khusus. Salah satu kementerian yang diusulkannya ialah Kementerian
Islamiyah, yang katanya, memberi jaminan kepada umat Islam (masjid,
langgar, surau, wakaf) yang di tanah Indonesia dapat dilihat dan
dirasakan artinya dengan kesungguhan hati.
Tetapi meskipun beberapa usulnya tentang susunan negara bisa
diterima dan menjadi bagian dan UUD 1945, usulnya tentang ini tidak
begitu mendapat sambutan. Mungkin karena ketika ia mengajukan usul ini
Jakarta Charter atau Piagam Jakarta dengan tujuh kata bertuah yang
merupakan kompromi antara golongan Islam dan kebangsaan telah tercapai.
Bukankah ucapan Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluknya telah mencakup semuanya?
Hanya saja, setelah Proklamasi Kemerdekaan telah diucapkan dan
konstitusi harus disahkan dalam rapat yang diadakan pada tanggal 18
Agustus, atas desakan Bung Hatta, PPKI mengganti tujuh kata bertuah itu,
dengan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam rapat tersebut, Latuharhary, seorang tokoh Kristen dari
Maluku, mengusulkan kepada rapat agar masalah-masalah agama diurus
Kementerian Pendidikan. Abdul Abbas, seorang wakil Islam dari Lampung,
mendukung usul agar urusan agama ditangani Kementerian Pendidikan. Iwa
Kusumasumatri, seorang nasionalis dari Jawa Barat, setuju gagasan
perlunya Kementerian Agama tetapi karena pemerintah itu sifatnya
nasional, agama seharusnya tidak diurus kementerian khusus. Ia
sependapat dengan pikiran Latuharhary. Ki Hadjar Dewantoro, tokoh
pendidikan Taman Siswa, lebih suka urusan-urusan agama mejadi tugas
Kementerian Dalam Negeri. Dengan penolakan beberapa tokoh penting ini,
usul Kementerian Agama akhirnya ditolak. Hanya enam dari 27 Anggota
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang setuju didirikannya
Kementerian Agama.
Ketika Kabinet Presidential dibentuk di awal bulan September 1945,
jabatan Menteri Agama belum diadakan. Demikian halnya, di bulan
Nopember, ketika kabinet Presidential digantikan oleh kabinet
parlementer, di bawah. Perdana Menteri Sjahrir. Usulan pembentukan
Kementerian Agama pertama kali diajukan kepada BP-KNIP (Badan Pekerja
Komite Nasional Indonesia Pusat) pada 11 Nopember 1946 oleh K.H.
Abudardiri, K.H. Saleh Suaidy, dan M. Sukoso Wirjosaputro, yang semuanya
merupakan anggota KNIP dari Karesidenan Banyumas. Usulan ini mendapat
dukungan dari Mohammad Natsir, Muwardi, Marzuki Mahdi, dan Kartosudarmo
yang semuanya juga merupakan anggota KNIP untuk kemudian memperoleh
persetujuan BP-KNIP.
Kelihatannya, usulan tersebut kembali dikemukakan dalam sidang
pleno BP-KNIP, 25-28 Nopember 1945 bertempat di Fakultas Kedokteran UI
Salemba. Wakil-wakil KNIP Daerah Karesidenan Banyumas dalam pemandangan
umum atas keterangan pemerintah kembali mengusulkan, antara lain; Supaya
dalam negara Indonesia yang sudah merdeka ini janganlah hendaknya
urusan agama hanya disambillalukan dalam tugas Kementerian Pendidikan,
Pengajaran dan Kebudayaan atau departemen-departemen lainnya, tetapi
hendaknya diurus oleh suatu Kementerian Agama tersendiri.
Usul tersebut mendapat sambutan dan dikuatkan oleh tokoh-tokoh
Islam yang hadir dalam sidang KNIP pada waktu itu. Tanpa pemungutan
suara, Presiden Soekarno memberi isyarat kepada Wakil Presiden Mohamad
Hatta, yang kemudian menyatakan, bahwa adanya Kementerian Agama
tersendiri mendapat perhatian pemerintah.
Sebagai realisasi dari janji tersebut, pada 3 Januari 1946
pemerintah mengeluarkan ketetapan NO.1/S.D. yang antara lain berbunyi:
Presiden Republik Indonesia, Mengingat: Usul Perdana Menteri dan Badan
Pekerja Komite Nasional Pusat, memutuskan: Mengadakan Departemen Agama.
Keputusan dan penetapan pemerintah ini dikumandangkan di udara oleh RRI
ke seluruh dunia, dan disiarkan oleh pers dalam, dan luar negeri, dengan
H. Rasjidi BA sebagai Menteri Agama yang pertama.
Pembentukan Kementerian Agama segera menimbulkan kontroversi di
antara berbagai pihak. Kaum Muslimin umumnya memandang bahwa keberadaan
Kementerian Agama merupakan suatu keharusan sejarah. Ia merupakan
kelanjutan dari instansi yang bernama Shumubu (Kantor Urusan Agama) pada
masa pendudukan Jepang, yang mengambil preseden dari Het Kantoor voor
Inlandsche Zaken (Kantor untuk Urusan Pribumi Islam pada masa kolonial
Belanda. Bahkan sebagian Muslim melacak eksistensi Kementerian Agama ini
lebih jauh lagi, ke masa kerajaan-kerajaan Islam atau kesultanan, yang
sebagiannya memang memiliki struktur dan fungsionaris yang menangani
urusan-urusan keagamaan.
Tetapi argumen ini dibantah oleh dokumen resmi yang diterbitkan
pemerintahan Soekamo. Dalam buku 20 Tahun Indonesia Merdeka, jilid VII,
dinyatakan bahwa di zaman kolonial Belanda, soal-soal yang bertalian
dengan urusan agama diurus terpencar-pencar dalam beberapa departemen.
Sebagai contoh soal urusan haji, perkawinan, pengajaran agama diurus
oleh Departement van Binnenland sche Zaken sic, atau Departemen
urusan-urusan Dalam Negeri). Soal Mahkamah Islam Tinggi, Raad Agama
(peradilan agama) serta penasihat Pengadilan Negeri diurus oleh
Departement van justitie dan lain sebagainya.
Kemudian di zaman penjajahan Jepang, urusan agama itu dipegang oleh
Shumubu, sebagai bagian dari Gunseikanbu, sedang di daerah-daerah
diurus oleh Shumuka sebagai bagian dari pemerintah keresidenan. Oleh
karena itu, keberadaan Departemen Agama adalah suatu departemen yang
baru, yang tidak ada hubungannya dengan zaman penjajahan, karena ia
dilahirkan seiring dengan Proklamasi Rakyat Indonesia menentang
penjajahan itu. Ia ditampilkan ke tengah-tengah forum perjuangan oleh
rakyat yang berjuang itu sendiri sebagai cermin jiwa dan kehendak
aspirasi rakyat terbesar.
Terlepas dari masalah pengaitan eksistensi Kementerian Agama dengan
kelembagaan semacamnya yang pemah ada di masa sebelumnya, beberapa
pengamat berargumen bahwa pembentukan Kementerian Agama merupakan bagian
dari strategi Sjahrir untuk mendapatkan dukungan bagi kabinetnya dari
kaum Muslimin. Rosihan Anwar, tokoh sosialis Muslim, misalnya,
menyatakan, pandangan ini berdasarkan pada pengakuan Sjahrir bahwa kaum
Muslimin merupakan mayoritas penduduk Indonesia, yang secara alamiah
wajar memerlukan Kementerian khusus untuk mengelola masalah-masalah
keagamaan mereka.
Pada pihak lain, sejumlah pemimpin Indonesia, terutama dari
kalangan non-Muslim dan nasionalis, memandang Kementerian Agama
merupakan konsesi yang terIalu besar dari Republik yang baru berdiri
kepada kaum Muslimin. Mereka khawatir, bahwa Kementerian akan didominasi
pejabat-pejabat Muslim dan, dengan demikian, akan lebih memprioritaskan
urusan-urusan Islam daripada urusan agama-agama lainnya yang ada di
Indonesia. Lebih jauh lagi, di antara mereka ada yang menuduh bahwa
Kementerian Agama merupakan langkah pertama kaum Muslimin untuk
mewujudkan negara Islam di Indonesia, setelah mereka gagal dalam sidang
BPUPKI untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara.
Bentuk tipikal oposisi kalangan non Muslim terhadap eksistensi
Kementerian Agama dapat terlihat dari pandangan JWM Bakker, pemimpin
Katolik yang bermukim di Indonesia. Sebagaimana dikutip Boland
(1982:106-7), Bakker menyatakan, bahwa sejak semula Kementerian Agama
merupakan kubu Islam dan batu loncatan untuk pembentukan sebuah negara
Islam. Dia lebih lanjut menuduh, bahwa pada perkembangan awalnya
kementerian ini bersikap defensif, tetapi ketika ia semakin kuat dan
sadar akan kekuatannya, ia mulai melancarkan propaganda (Islam) melewati
batas-batas yang pernah diduga Sjahrir sendiri; bagian propaganda dari
Kementerian Agama menjadi sekuat negara itu sendiri.
Tuduhan ini tentu saja dijawab oleh para pemimpin Islam. Wahid
Hasyim, pemimpin NU yang kemudian menjabat Menteri Agama pada 1950-1952
menyatakan, adalah pantas bagi Kementerian Agama untuk memberikan
perhatian lebih besar kepada masalah-masalah Islam, karena jumlah
penduduk Muslim jauh lebih banyak dibandingkan jumlah kaum non Muslim.
Karena itu, ujarnya, tugas-tugas untuk pengelolaan masalah-masalah Islam
dan kaum Mushmin tidak sama besarnya dengan penanganan masalah-masalah
kaum non-Muslim. Jadi, perbedaan ini tidaklah didasarkan pada
diskriminasi agama.
Sumber : islamstory.com
Redaksi ISBAD
Sumber : islamstory.com
Redaksi ISBAD
Tidak ada komentar:
Posting Komentar